Saya mengenalnya, saat Awan berada di kantor. Sebentar perjumpaannya. Hanya sehari, itupun beberapa saat saja.
Pemuda kelahiran Ketapang Kalimantan Barat sebenarnya satu dari banyak pekerja migran Indonesia yang mengalami masalah. Efek dari pagebluk yang melanda dunia.
Sedikit waktu bertemu, saya manfaatkan untuk berbincang. Mengenal lebih jauh. Berbincang santai dengan penuh tawa.
Saya sengaja melakukannya. Mencoba menghindari Awan dari kekosongan pikiran dan rasa tertekan yang pernah dialaminya.
Informasi yang saya dapatkan. Keberadaan dirinya di rumah sakit jiwa Singkawang dikarenakan ketidakstabilan emosi saat melintas di PLBN Entikong ketika ingin pulang ke kampung halamannya.
Saya mencoba mengulik penyebabnya. Tentu saja sambil menyajikan segelas kopi susu dan rokok. Teman mengobrol dengan saya.
Dari pembicaraan dengannya. Diketahui bahwa ia selama bekerja di Malaysia merasa tertekan karena tidak diperbolehkan untuk pergi kemana-mana. Larangan itu dilakukan karena kebijakan pemerintah Malaysia yang menerapkan lockdown.
Larangan untuk tidak pergi kemana-mana saat pagebluk membuatnya tertekan. Keinginan untuk pergi melepas penat setelah seharian bekerja di perkebunan sawit tak mendapatkan penyaluran.
Saya kira saat pagebluk Covid-19 banyak orang merasa takut, tertekan, dan cemas menghadapinya. Tak heran saat Covid-19 melanda banyak aplikasi kesehatan mental tumbuh bak jamur di musim hujan.
Saya tuangkan sedikit hasil pembicaraan dengan Awan. Sisanya tidak mungkin saya ungkap disini.
“Kalau sudah balik ke kampung, mau kerja aja?” Tanyaku sambil menyesap seteguk kopi susu buatan pak Jan langganan kami di pagi hari.
“Supir Beko!” Ungkapnya. Beko merupakan kendaraan berat yang lebih dikenal dengan nama Excavator. Kata “beko” berasal dari bahasa Inggris “backhoe” yang berarti aktor belakang. Entah sejak kapan, di Indonesia kata “beko” identik dengan “excavator”.
“emang elo bisa nyupir?” kejarku sambil tersenyum kepadanya.
“bisa, pak. kan dulu waktu di kebun pernah bawa lori” terangnya.
“berarti punya sim, dong?” tanyaku.
“nggak punya, pak” jawabnya sambil menyalakan rokok yang sedari tadi masih dipegangnya.
“terus, kenapa mau jadi supir beko?” ungkapku mengejar rasa penasaran sedari tadi masih menggelayut dipikiran.
“ada saudara di kampung yang ajak saya buat bawa beko” jawabnya sambil menghisap rokok.
“loh, kapan elo telpon saudara di kampung. kok, sampai mau bawa beko?” tanyaku sambil menggaruk kepala.
“waktu di dalam atau di rumah sakit?” sergapku mengejar jawabannya.
“waktu di dalam, pak.” terangnya.
“oh” ungkapku sembari menghisap rokok.
“ya udah. jangan lupa buat sim kalau mau bawa beko” pintaku.
“lihat nanti aja, pak” jawabnya sambil memandang ke kaca jendela ruangan.
“ya udah. elo mandi sana. terus ikut jemput saudara elo ke bandara. daripada disini cuma bengong dan tidur doang” pintaku sambil tersenyum.
Awan pun berlalu menuju ruangan yang kami sediakan sejak kemarin untuk bersiap menjemput saudaranya.
“si Awan sudah dikasih obat belum” tanyaku kepada kawan kantor yang menjemputnya kemarin.
“Sudah. Orangnya bisa minum obat sendiri kok” jawab kawan yang sedari tadi memperhatikan kami berbincang.
“lah, gue pikir elo yang kasih obatnya” kataku sambil menghabiskan sebatang rokok.
Dalam hati saya berpikir betapa dahsyatnya efek pandemi Covid-19 ini. Bukan cuma menghantam kesehatan fisik dan perekonomian, tapi juga menghantam kesehatan mental bagi orang yang tidak sanggup menghadapinya.
Saya hanya bisa berdoa agar pandemi ini segara berakhir. Bukankan setelah hujan akan turun pelangi.
Jangan lupa pakai masker, sering cuci tangan, dan jaga jarak ya.
“