Habis Hujan Datanglah Banjir dan Macet

Banjir dan macet seperti saudara kembar yang tak terpisahkan. Memisahkan mereka laksana mencari jarum di tumpukan jerami.

Pontianak, kota yang berdiri diatas rawa. Sudah langganan akan hal itu. Parit yang semakin kecil dan dangkal akibat derasnya pembangunan memperlancar kehadiran banjir yang dibarengi macet.

Tidak ada yang bisa diperbuat. Berserah diri. Mengutuk. Bergumam. Menjadi satu setiap tamu bernama banjir dan macet datang.

Ini yang terjadi hari ini. Kamis yang seharusnya manis berubah jadi amis. Bukan karena bau menyengat. Tapi banjir dan macet.

Setelah banjir. Sampah dari ketidaksadaran kita selama ini perlahan menyembul. Meminta kita untuk berkaca.

Tanpa kaca kita bagai ilalang terbakar api. Hilang tanpa kesan.

Sampah yang nampak di kala banjir. Menagih janji untuk menjaga kehidupan.

Kehidupan sekarang, Bukan. Kehidupan untuk anak dan cucu kita kelak seperti kita mendapatkan warisan itu dari orang-orang tua dulu.

Anak dan cucu kita tak meminta harta. Mereka yang tumbuh dalam dunia tanpa batas menginginkan kehidupan seperti kisah Atlantis.

Kita yang mengajarkan mereka. Kenapa kita yang menghancurkan mimpinya?

ditulis saat banjir melanda sebagian kota Pontianak.

tulisan ini sekedar pengingat diri sendiri agar selalu mawas diri.

bagi yang tersinggung. mohon maaf. πŸ™πŸ™πŸ™

Leave a Reply