Rutinitas pagi yang ku jalani biasanya menyesap segelas kopi sachet disertai sebatang rokok sembari menyalakan laptop tua. Nikmat laksana mengayuh kereta angin kala senja.
Hari ini, tepatnya selasa tanggal 27 Oktober 2020. Sehari menjelang long weekend sambil menikmati kebiasaan mencoba memikirkan apa yang terjadi kemarin dan merencanakan yang akan dilakukan hari ini.
Dua kejadian kemarin yang membekas dalam ingatan saya. Pulangnya dua orang dari Malaysia setelah puluhan tahun merantau mencoba mengubah nasib. Satu pulang dengan mengucapkan kata “Alhamdulillah” dan satu lagi kembali ke kampung halaman dalam keranda.
Keduanya berasal dari daerah yang berbeda. Satu berasal dari Bima, Nusa Tenggara Barat dan satu lagi berasal dari Kubu Raya, Kalimantan Barat. Berbeda pula jenis kelaminnya.
Alhamdulillah, Bisa Pulang
Sukardin bin Said, lelaki asal Bima kelahiran 1972 sebelum pulang ke Indonesia merupakan pesakitan di negeri Jiran. Niatnya mencari penghasilan berubah menjadi derita.
Sepuluh tahun yang lalu, tepatnya di 9 September 2010. Sukardin menyerang empat orang berkebangsaan Indonesia yang sama-sama menjadi Pekerja Migran di Perkebunan Sawit di Sarawak, Malaysia. Akibat penyerangan yang dilakukannya, seorang teman kerjanya bernama E meninggal dunia. Ironisnya orang yang terbunuh itu berasal dari Bima. Kota yang sama dengan Sukardin. Tiga orang lainnya menderita luka-luka.
Akibat perbuatannya, Sukardin diputuskan menerima dua hukuman, penjara 15 tahun serta hukuman mati oleh pengadilan setempat.
Skizofrenia lah yang menyebabkan Sukardin menyerang keempat rekan kerjanya. Penyakit yang membuat seseorang kesulitan membedakan realita dengan yang dipikirkannya. Penyakit yang menyebabkan dirinya halusinasi serta delusi.
Penyakit ini pula membuatnya menjalani perawatan di Rumah Sakit Sentosa Sibu selama 10 tahun lamanya.
10 tahun waktu yang dibutuhkan untuk KJRI Kuching untuk membebaskan Sukardin dari jerat hukuman mati.
Sampai akhirnya 8 September 2020, Mahkamah Tinggi Sibu mengabulkan permohonan KJRI Kuching untuk membebaskan Sukardin dengan alasan penyakit psikisnya.
Tak sendiri. KJRI Kuching yang selama ini membantunya, mendampingi melintasi batas negeri pada 26 Oktober 2020.
Esok harinya, Sukardin didampingi petugas BP2MI Pontianak dipulangkan ke Kota Tepian Air, Bima. “Alhamdulillah, bisa pulang” jawabnya saat kutanya mengenai kondisi saat malam hari sebelum keberangkatan ke kampungnya.
Dalam Peti Mati, Then Sui Fin Kembali
24 tahun sudah Then Sui Fin meninggalkan kampung halamannya. Merubah nasib dan meringankan beban orang tuanya alasan putri sulung dari 15 bersaudara merantau menjadi pembantu rumah tangga di negeri Jiran Malaysia.
Dalam pengembaraannya, Then Sui Fin menikah dengan pujaan hatinya warga negara Malaysia. Kelahiran, kematian dan jodoh memang takdir Sang Pencipta. Pernikahannya tak berlangsung lama. Tak menghasilkan anak menyebabkannya harus menelan pil pahit perceraian.
Selang beberapa waktu setelah pernikahan pertama yang berakhir dengan kecewa. Sui Fin kembali menemukan tambatan hatinya. Pernikahan yang kedua harus berakhir tragis. Setelah menikah beberapa tahun lamanya, suami yang dicintainya pergi meninggalkan dirinya menghadap Sang Kuasa di tahun 2018.
Kali kedua menjadi janda di negeri seberang membuatnya terpaksa bekerja pada sebuah rumah makan untuk menyambung hidup.
17 Oktober 2020 dalam kesendirian serta menahan sakit jantung yang dideritanya sejak kecil, Sui Fin menghadap Pemilik Alam Semesta di kamar kostnya.
Kabar mengenai sulung dari 15 bersaudara ini sampai ke telinga adiknya, Akiun, melalui media sosial Facebook. Didampingi SBMI Kubu Raya, Akiun mengadukan derita yang dialami sang kakak ke BP2MI Pontianak pada 20 Oktober 2020.
26 Oktober 2020 suara pesawat GA 502 Garuda Indonesia yang membelah kota Khatulistiwa mengabarkan pada keluarganya kalau Then Sui Fun pulang ke tempat kelahirannya untuk selamanya dan tanpa nyawa.