Karena Terpaksa, Jadilah Pakai Linux Mint

Dari judulnya aja sudah jelas. Jadi nggak usah berharap ada hal yang wah di sini. Bisa dibilang pakai Linux Mint karena terpaksa.

Kalau berharap ada sesuatu yang akan menambah pengetahuan soal Linux, baik itu tata cara, problem solve ketika ada permasalahan di Linux dan hal lainnya. Saya sarankan segera meninggalkan blog ini secepatnya 😁.

Trus, yang akan kalian dapatkan dari sini apa, dong? Lihat aja nanti, ya πŸ€”.

Salah satu distro dalam Linux yang paling banyak digunakan orang itu Linux Mint. Kalau pengen tahu distro itu apa? Dan Linux Mint itu apa? Coba klik tab baru di browser kalian dan segera cari di mesin pencari.

Linux Mint itu yang saya gunakan di laptop pribadi. Kalau urusan kantor sih masih pakai OS nya Bill Gates, Microsoft itu loh.

Awalnya sih laptop pribadi pakai Microsoft. Tapi yang bajakan (jangan ditiru loh 😊). Bahkan beberapa aplikasi pun bajakan juga (lebih jangan ditiru lagi 🀭)

Alasan Saya Pakai Linux Mint

Kesadaran. Nggak juga sih. Bukan faktor utama. 🀭

Loading laptopnya berat. Itu faktor pendorongnya. Bagaimana tidak berat?. Wong laptop pribadi saya kapasitas memory RAM nya 2 GB. Dan prosesornya masih Intel Celeron. Jangan dibayangkan ya 🀫.

Untuk ngetik pakai Microsoft Office aja sudah berat. Gimana dengan aplikasi lainnya.

Maklum aja. Laptop murah meriah dari merek Asus. Belinya aja cuma 3 jutaan.

Terpedaya iklan. Karena saya kurang teliti saja. Saya pikir laptop itu bisa di upgrade RAM nya dari 2 GB ke 4 GB. Ternyata saya salah. Memory RAM ditanam (ditanam di motherboard dengan cara di solder) bukan seperti biasanya (dimasukan dalam slot memori RAM di motherboard). Sehingga kalau mau menambah harus bongkar dulu. Resikonya jelas besar.

Begitulah nasib konsumen yang berdompet tipis, kurang teliti serta gampang percaya sama iklan.

Kalau Asus mau kasih laptop yang bagus sih. Senang hati saya terima. (Mudah-mudahan ada pihak Asus yang baca) πŸ˜‚πŸ€­

Kembali ke Linux Mint. Nah, sebelum pakai Linux Mint, ada beberapa distro yang saya coba sebelum memutuskan. Ubuntu, Elementary, Zorin dan tentunya Linux Mint.

Pertimbangan utama di antara empat distro itu. Ringan dan banyak pemakainya.

Ringan itu harus. Namanya juga terpaksa beralih, mau tidak mau harus cari yang ringan.

Banyak pemakai jelas dong. Biar kalau saya nggak tahu kan tinggal tanya saja. Baik di forum internet maupun group Facebook. Kan saya rada gaptek ama dunia komputer.

Elementary dan Zorin tampilannya sih bagus. Seger di mata. Tapi karena baru muncul jadi pemakainya masih sedikit. Kalau saya install salah satunya. Nah, begitu ada yang tidak ngerti bisa repot. Mau tanya dimana? Yang ada malah nyusahin diri sendiri. Jadilah keduanya tidak masuk kriteria saya, walaupun pernah dicoba.

Minimal bisa tahu lah. Kalau kedua distro itu tidak cocok untuk saya saat ini. Ataupun juga bisa jadi bahan celoteh saya di sini. πŸ˜„πŸ˜„πŸ˜„

Kenapa nggak Ubuntu. Saat saya memutuskan. Pemakai Ubuntu dibawah Linux Mint (kalau mau lihat distro Linux bisa di sini ya). Bukan itu aja sih alasannya. Paling utama, waktu saya coba install Ubuntu kok gagal terus.

Kan puyeng. Baru mau coba kok malah susah. Daripada berabe kedepannya. Lebih baik saya tinggalin.

Pilihan terakhir itu Linux Mint. Pas pertama kali install langsung bisa. Betapa menyenangkannya. Ibaratnya kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah anda. Kayak tagline iklan aja πŸ˜ƒπŸ˜ƒπŸ˜ƒ.

Sebermula itu laptop mungil saya pakai Linux Mint. Kejadiannya sih sejak pertengahan 2019 (kalau tidak salah ingat).

pakai linux mint
tangkapan layar laptop saya yang pakai linux mint

Lalu apakah laptopnya masih dipakai sampai sekarang?. Tentu saja masih dipakai. Kan, dipakainya cuma buat ngetik aja. Emang nggak pakai buat hal lain? Kan laptop bisa dipakai buat main game, edit foto dan video, nonton ataupun hal lain. Saya tahu dirilah. Laptop dengan RAM 2 GB kok dipakai buat main game sih. Apalagi edit foto dan video. Kagak kuat dong. Yang ada, kalau dipaksa malah makan hati buat saya πŸ˜ƒπŸ˜ƒπŸ˜ƒ.

Aplikasi Microsoft Itu Mahal

Nah, enak nggak pakai Linux Mint ? Namanya gratis itu enak lah. Kalau pakai Microsoft, saya kan harus beli softwarenya (Windows 10) sekitar 3,5 jutaan itupun hanya Operating System nya aja. Belum lagi buat Microsoft office yang mulai dari Rp 700 ribuan untuk yang office 365 personal sampai yang jutaan rupiah (office profesional). Ada sih yang bajakan. Tapi masa mau bermasalah terus.

Itu biaya buat ngetik aja. Bagaimana dengan biaya aplikasi lainnya. Seperti edit gambar dan foto, edit video dan lainnya yang harganya mahal banget. Kalau jawaban atas tingginya biaya aplikasi di komputer windows adalah pakai bajakan, ya sudah, nggak perlu ada pembahasan lebih lanjut.

Bagaimana kalau kembali ke mesin tik. Nostalgia jaman dulu. Apalagi bunyi tuts hurufnya akan membangkitkan kenangan.

Sebenarnya ada beberapa aplikasi Linux yang bisa jalan di Microsoft Windows, seperti Libre Office, Open Office, GIMP, InkScape, Blender dan lainnya. Dan itu semuanya gratis. Jadi bisa mengurangi biaya tanpa mengurangi produktifitas.

WPS Office dan GIMP yang di pakai di laptop mungil saya. InkScape dan Blender saya pakai di komputer kantor.

Udah dulu ya. Nah, sekarang menyesel nggak? baca tulisan ini sampai selesai. Jangan marah, kan sudah saya jelaskan di awal.

Tapi terima kasih loh. Sudi mau buang waktu dan kuota internet buat baca sampai habis πŸ˜πŸ™.

Image by ADMC from Pixabay

2 thoughts on “Karena Terpaksa, Jadilah Pakai Linux Mint”

Leave a Reply