Mie Ayam Panama : Sisa Kejayaan Masa Lalu

Hampir sebagian masyarakat Pontianak mengenal mie ayam Panama. Salah satu dari sekian banyak warung mie ayam.

Entah sejak kapan warung yang terletak di Jalan Urai Bawadi itu berdiri. Saya sendiri tidak mengetahui secara pasti. Bahkan tidak punya keinginan untuk bertanya.

Sepanjang jembatan keledai saya. Beberapa masa setelah merantau ke Pontianak. Warung mie ayam itu baru buka. Bahkan sempat menjadi salah satu langganan tempat siang saya bersama beberapa kawan kantor.

Kembali Menikmati Mie Ayam Panama

Setelah sekian lama tidak menikmatinya. Kesempatan itu akhirnya datang. Pepatah mengatakan rindu harus dibayar tuntas.

Wara-wiri menyusuri jalan Urai Bawadi lewat warung mie ayam Panama saban hari tentu akan menimbulkan hasrat. Hasrat mencoba dan nostalgia.

Setelah shalat Jum’at, rasa lapar menyergap. Sinar matahari yang jatuh membuat saya tak ingin pergi jauh-jauh untuk mengisi perut.

Begitu memasuki warung itu, suasana gelap terasa. Maklum saja, tempatnya terapit gang kecil yang cukup memuat satu motor dan ruko yang sudah lama tak terlihat aktifitas.

Saat kami mendatangi, terlihat sepasang orang sedang bersantap di dalam warung. Entah apa yang sedang di santapnya, kami pun tak mempedulikannya.

Bersama rekan kantor, kami memesan dua mie ayam bakso dan teh botol serta air putih hangat.

Sambil menunggu pesanan kami sampai, rekan kantor sempat berujar “masih jualan, ya?”, ungkapan yang mencerminkan waktu yang lama serta sepinya warung.

mie ayam panama
Mie ayam bakso pesanan di warung mie ayam panama

Sembari menikmati pesanan, saya berujar kepada kawan “pantas sepi, rasanya biasa aja”. Tak seperti yang dulu.

Salah satu dari empat bakso yang disajikan mengandung kejutan. Potongan cabai berada di dalamnya. Rasa pedasnya menusuk lidah saya. Bahkan kawan yang terbiasa rasa pedas berkata “cabenya, cabe fir’aun nih!” saking pedasnya.

Guna menutupi rasa pedas. Saya pun terpaksa memesan satu teh botol lagi. Keringat dan air mata keluar menahan rasa pedasnya.

Segera saja kami mengakhirinya. Untuk dua porsi mie ayam bakso dan dua botol teh serta satu air putih hangat, Rp53 ribu harus direlakan berpindah ke kasir. Sayangnya tanpa struk pembayaran.

Pendapat Saya Tentang Mie Ayam Bakso Panama

Bagaimana penilaian soal rasa? Saya dan kawan bersepakat memberikan 3 bintang. Itupun tertolong karena rasa bakso. Rasa mie nya standar menurut indera pengecapan kami berdua. Irisan daging ayamnya cukup enak.

Soal harga? Dengan harga Rp22 ribu untuk semangkok mie ditaburi irisan ayam serta bakso cukup masuk akal. Harga standar mie ayam di Pontianak sekitar Rp 10 ribu hingga Rp15 ribu. Empat buah bakso mungkin dihargai Rp10 ribu di warung ini. Dengan komposisi mie ayam dan bakso, Harga Rp22 ribu memang yang paling rasional menurut pendapat saya pribadi.

Secara umum pelayanan di warung ini kurang memuaskan. Tanpa senyum dari pelayanan atau mungkin pelayannya sedang tidak enak badan atupun hati, saya tidak tahu, Seingat saya, dahulu warung ini memberikan struk pembayaran kepada konsumen tapi kali ini tidak diberikan, Entah apa yang mendasarinya? Mengurangi sampah kertas agar tidak banyak pohon yang ditebangi. Mungkin saja.

Kesan suram saya dapatkan ketika memasuki warung ini. Mungkin karena penerangan cahaya yang kurang? Atau karena berada di samping ruko tanpa aktifitas? Entah. Saya sendiri kurang tahu.

Tempat yang strategis yang terletak di pinggir jalan Uray Bawadi serta rasa baksonya yang enak bagi saya itu keunggulannya. Mungkinkah pemilik mau fokus berjualan bakso saja dan merubah namanya menjadi warung bakso panama?

Lalu, apakah saya akan kembali? Saya akan mencari alternatif warung mie ayam lainnya.

2 thoughts on “Mie Ayam Panama : Sisa Kejayaan Masa Lalu”

Leave a Reply