Ketika Rumah Tak Lagi Jadi Pelabuhan : Renungan dari Kasus Sambas

Bayangkan, seorang anak perempuan berusia 8 tahun pulang dari sekolah, tas merahnya masih tergantung di punggung. Ia masuk ke rumah, melepas sepatu, dan berharap ada cerita baik hari ini. Tapi yang menunggu bukanlah senyum ayah, melainkan teror yang akan membayangi 7 tahun kehidupannya.

Ini bukan cerita fiksi. Ini kisah nyata dari Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, seperti dilaporkan Suara Kalbar (9 April 2024). Seorang ayah tiri mencabuli anak tirinya sendiri, dimulai saat ia masih duduk di bangku kelas 2 SD, berlanjut hingga ia beranjak remaja. Selama itu, dinding rumah yang seharusnya melindungi, justru menjadi saksi bisu penderitaan yang tak terkatakan.

“Ayah, Kenapa Kau Lukai Aku?”

Kita mungkin tak akan pernah benar-benar paham: Apa yang dirasakan korban setiap kali mendengar langkah kaki pelaku mendekati kamarnya? Bagaimana ia memeluk boneka usang sambil berharap ini hanya mimpi buruk? Atau saat ia menatap teman-teman seusianya yang bebas tertawa, sementara ia harus menyembunyikan luka di balik seragam sekolah?

Yang lebih menyayat hati: Pelaku adalah sosok yang seharusnya menggantikan peran ayah kandungnya. Bukan hanya fisik, ini pengkhianatan atas kepercayaan paling dasar: keamanan dalam pelukan keluarga. Ketika rumah berubah menjadi penjara, kepada siapa lagi anak itu bisa berlari?

Kita Semua adalah Tetangga Mereka

Selama 7 tahun. 84 bulan. 2.555 hari.
Pertanyaannya bukan “Bagaimana ini bisa terjadi?” melainkan “Apa yang tidak kita lakukan?”

Mungkin ada ibu-ibu di warung yang curiga melihat anak itu tiba-tiba pendiam. Mungkin guru SD-nya pernah melihat bekas luka di tangannya, tapi menganggapnya sebagai jatuh dari sepeda. Atau kakek-neneknya yang merasa ada yang “tidak beres”, tapi memilih diam karena tak ingin dianggap ikut campur urusan rumah tangga orang.

Data kekerasan seksual anak di Kalimantan Barat memperlihatkan pola yang mengkhawatirkan (kompas.id). Pada 2021, tercatat 249 kasus, dengan Kota Pontianak dan Kubu Raya sebagai wilayah tertinggi. Tren ini terus meningkat di 2022 (277 kasus, +11%), di mana 44 kasus berasal dari Ketapang, salah satunya mungkin kasus yang sama yang terjadi di Sambas. Yang lebih memilukan, catatan resmi menyebutkan bahwa pelaku dominan adalah keluarga atau orang terdekat. Ini bukan sekadar angka, melainkan potret kegagalan sistem perlindungan anak yang seharusnya dimulai dari rumah.

Sebagai ayah dari dua anak perempuan, saya sering bertanya: Apa yang akan saya lakukan jika Nazya atau Mahira tiba-tiba menolak dipeluk, atau menjerak saat mendengar langkah kaki seseorang? Apakah saya cukup peka untuk membaca bahasa tubuh mereka yang tiba-tiba berubah?

Hukuman Bukan Akhir Cerita

Pelaku kini ditahan. Tapi bagi korban, penjara fisik pelaku tidak serta-merta membebaskannya dari penjara ingatan. Apa arti 15 tahun hukuman maksimal UU Perlindungan Anak, jika tiap malam ia masih terbangun karena bayangan tangan yang pernah merampas masa kecilnya?

Di rumah kami, saya dan istri membuat ritual sederhana: Setiap malam, sebelum tidur, Nazya dan Mahira diajak bicara tentang hari mereka. “Ada yang membuat tidak nyaman hari ini?” atau “Ada orang yang sentuh tubuhmu tanpa izin?” Pertanyaan-pertanyaan itu kami ulang seperti mantra, karena kami tahu: Pelaku seringkali adalah orang terdekat.

Mari Bicara Tentang Hal yang Tak Pernah Kita Bicarakan

Kita gemar membahas nilai akademik anak, tapi lupa mengajarkan kalimat sederhana: “Tubuhmu adalah benteng terakhirmu. Tak seorang pun boleh menyentuhnya tanpa izin.”

Pada Nazya dan Mahira, istriku menggunakan istilah “titik pribadi” untuk menjelaskan bagian tubuh yang tak boleh disentuh orang lain.

Lucunya, pelajaran ini justru mereka terapkan dengan sangat “kreatif”. Kini, setiap kali mandi atau ganti baju, Nazya, dengan sok tegas ala superhero, akan menutup pintu kamar mandi sambil berkata, “Jangan masuk! Tunggu di luar” Mahira yang masih 6 tahun pun meniru kakaknya. Saat ke kamar setelah mandi, ia mengunci pintu sambil tertawa, lalu berteriak: “Jangan masuk! Aku lagi ganti baju”

Kadang saya tertawa melihat mereka sok jaga gengsi, tapi di balik itu, saya bersyukur. Gerakan kecil ini adalah bukti: Mereka paham bahwa tubuh mereka hanya milik mereka sendiri.

Epilog: Menyalakan Lilin di Kegelapan

Kasus Sambas bukan sekadar berita di portal online. Ini adalah cermin yang memantulkan wajah kita semua.

Malam ini, saya menulis sambil sesekali menengok kamar Nazya dan Mahira. Keduanya tidur dengan tenang, tak tahu bahwa di luar sana, ada ribuan anak seumuran mereka yang masih terjebak dalam kebisuan. Di Kalimantan Barat saja, hingga Desember 2024, Kota Pontianak telah melaporkan 86 kasus kekerasan anak, angka yang mungkin lebih besar jika korban berani bersuara (suarakalbar).

Kita mungkin tak bisa mengubah masa lalu korban, tapi kita bisa:

  • Menjadi telinga bagi anak yang tiba-tiba murung
  • Menjadi suara bagi mereka yang tercekik ketakutan
  • Menjadi pelindung dengan melaporkan hal mencurigakan ke hotline SAPA 129

Seperti kata Buya Hamka: “Keadilan yang tertunda bisa mematikan harapan, tapi keheningan kita akan membunuh jiwa.”

Mari buka pintu bagi anak-anak yang terperangkap dalam kebisuan. Karena terkadang, satu pertanyaan tulus dari tetangga, “Adik, kamu baik-baik saja?” bisa menjadi tali penyelamat dari jurang yang dalam.

Tulisan ini dipersembahkan untuk semua korban yang masih berjuang sembunyi-sembunyi, dan untuk Nazya-Mahira: terima kasih sudah mengajari Ayah arti keberanian lewat candaan kalian menutup pintu kamar mandi.

Catatan: Identitas korban sengaja tidak disebutkan. Setiap detail kasus mengacu pada pemberitaan resmi.

Leave a Reply