Tanggal 2 Juni 2025. Sebuah hari yang biasa saja di kalender, tapi tak ada yang sungguh-sungguh biasa di hari-hari yang diiringi koper dan boarding pass. Pukul 10.49 pagi, saya meninggalkan Tebet. Jalanan lenggang, seperti memberi restu atas kepergian yang sudah dijadwalkan. Tol Dalam Kota tidak berisik hari itu. Tidak ada klakson yang menyumpahi waktu. Dari Tol Prof. Dr. Ir. Sedyatmo, Bandara Soekarno Hatta menjelma seperti oase. Bukan karena ada harapan di sana, tapi karena kita memang sedang menuju ke arah yang tak bisa ditunda.
Pukul 11.39 saya tiba di Soekarno Hatta. Kopi dan croissant almond jadi pelengkap jeda yang terlalu pendek untuk disebut istirahat, tapi terlalu penting untuk dilewatkan. Sebab sebelum terbang, tubuh perlu tenang. Hati perlu dibuat nyaman. Perjalanan udara selalu membawa kita pada persimpangan yang ganjil: antara antusiasme dan kekosongan.
Garuda Indonesia GIA162 membawa saya meninggalkan langit Jakarta pukul 14.34. Langit Padang menyambut saya pukul 16.48, dua jam tiga belas menit kemudian. Tapi waktu tidak berjalan dalam jam. Ia berjalan dalam denyut jantung. Kadang terasa sebentar. Kadang terlalu lama. Pukul 17.05 saya tinggalkan Bandara Internasional Minangkabau, menuju Politeknik ATI Padang. Dalam 25 menit perjalanan, saya melihat Sumatera Barat dalam senja yang tak terburu-buru. Angin terasa basah. Seolah menyimpan sisa hujan yang belum jatuh.
Di Politeknik ATI, saya singgah tak lama. Dunia akademik kadang seperti pelabuhan: tempat singgah, bertukar ide, lalu kembali ke gelombang. Pukul 18.09 saya pamit. Bukan karena bosan, tapi karena perut tak bisa diajak berdialog terlalu lama. Pondok Ikan Bakar Khatib Sulaiman jadi tujuan. Pukul 18.22, cacing-cacing di perut bersorak, menyambut ikan bakar dengan sambal yang membakar semangat nasionalisme dalam lidah. Makan di Minang bukan sekadar makan, tapi upacara penghormatan pada rasa.
Sejam lebih saya habiskan di rumah makan itu. Pukul 19.20, perut kenyang, tapi hati tetap lapang. Hotel Santika Premiere Padang menyambut saya 24 menit kemudian. Air hangat, pakaian baru, dan jeda yang sempit untuk mengganti wajah lelah menjadi segar. Tak lama, pukul 20.19 saya berangkat ke rumah dinas Wakil Gubernur Sumatera Barat. Jamuan malam, perbincangan hangat, dan sisa-sisa politik dalam cangkir kopi yang tak lagi panas.
Pukul 22.44 saya pamit. Kembali ke hotel. Hanya untuk satu hal yang tak bisa ditawar: tidur. Pukul 22.50 saya rebah. Baterai tubuh mulai diisi ulang. Perjalanan belum selesai.
3 Juni 2025, pagi yang dimulai dengan sarapan hotel dan sisa rasa malam sebelumnya. Pukul 09.03 saya check-out. Kota Padang masih ramah. Kantor Gubernur Sumatera Barat menjadi tujuan selanjutnya. Empat menit dari hotel. Efisien, seperti protokol.
Jam 10.35, saya berpindah ke Universitas Negeri Padang. Kota ini menawarkan waktu seperti pelayan restoran: cepat, tidak cerewet, dan tahu diri. Pukul 10.44 saya tiba di UNP. Hampir dua jam saya di sana. Wajah-wajah muda, semangat baru, dan ruang-ruang peradaban yang sedang dibentuk.
Pukul 12.20, tubuh kembali mengingatkan bahwa ia butuh isi ulang. Saya menuju daerah Bandara. Rumah Makan Surya Simpang Lalang jadi persinggahan. Pukul 12.31 saya duduk, menyantap makan siang khas Minangkabau yang tak pernah gagal menyalakan nostalgia.
Pukul 13.09, saya berangkat ke Bandara Minangkabau. Tidak terburu-buru. Tapi kabar datang seperti tamu tak diundang. Delay. Pesawat Garuda GIA163 yang seharusnya terbang pukul 17.15 diundur jadi 17.45. Lalu delay lagi jadi 18.30. Sebab pesawat memang seperti hidup: tidak semua hal berangkat sesuai rencana.
Pukul 18.34 saya meninggalkan langit Padang. Kali ini menuju Halim Perdanakusumah. Penerbangan yang sunyi. Tak banyak percakapan. Hanya bunyi mesin dan mata-mata yang lelah.
Pukul 21.24, Jakarta menyambut saya kembali. Kota yang tidak pernah tidur. Tapi saya sudah kehabisan tenaga untuk merayakannya. Pukul 22.33, saya tiba di rumah. Akhir dari perjalanan dua hari yang bukan cuma soal tempat, tapi juga tentang jeda, sambungan, dan hal-hal kecil yang membuat hidup ini tetap utuh: secangkir kopi, ikan bakar, tawa hangat, dan sisa-sisa lelah yang terasa layak.
Di setiap perjalanan, kita bukan cuma pindah lokasi. Kita juga berpindah versi dari diri kita sendiri. Jakarta dan Padang menjadi dua titik dalam narasi yang sama: bahwa waktu adalah milik mereka yang mau berjalan. Dan pulang, selalu menjadi akhir paling manis. Bukan karena kita berhenti, tapi karena kita tahu ke mana kembali.