Pukul 17.02: Transit di Persimpangan Takdir

Jarum jam menancap di angka lima lelah. Aku masih berdiri di halte Busway Pancoran, menyaksikan matahari sore yang tersedu-sedu di antara gedung-gedung. Sebuah pertanyaan menggantung: Nasib baikkah ini, atau hanya ilusi yang kubeli dengan karcis seharga tiga ribu lima ratus rupiah? Tubuh ini harus pulang. Beristirahat di antara debar tagihan listrik dan cita-cita anak-anak yang belum terbayar. Sebab pertempuran hidup tak pernah usai. Ia hanya berhenti sejenak, seperti bus yang menepi di halte.

Kaki melangkah menyusuri trotoar MT. Haryono. Aspal di sini retak-retak, mirip garis nasib di telapak tangan kakek dulu. Tujuan sementara: Palmerah. Lalu transit ke Islamic Tangerang, di mana Mahira sedang menunggu dengan PR matematika, dan Nazya mungkin bertanya, “Ibu, kapan kita liburan lagi?” Aku tahu jawabannya: “Saat rezeki tidak lagi bersembunyi di balik angsuran.”

Hari kedua pasca-Lebaran. Kota ini seperti arena gladiator usai gencatan senjata. Semua orang kembali ke medan laga, para sopir taksi online berebut penumpang. Ibu-ibu menjinjing kresek belanja bulanan, sementara aku hanya seorang pelatih. Mempersiapkan dua petarung cilik untuk gelanggang yang lebih kejam, kehidupan.

Bukan mie instan,” bisikku menatap deretan bis yang mengantre. Melatih anak ibarat menanam pohon asam: butuh tahunan untuk merasakan kecutnya buah. Tapi tagihan-tagihan itu tak mau mengerti. Mereka datang seperti hujan bulan April, deras dan membanjiri rencana.

Di dalam Bus 9A, kepalaku menempel pada kaca. Bayangan-bayangan lalu melintas: wajah mendiang ibu yang selalu berkata, “Kau menandatangani takdir ini saat memilih jadi orang tua.” Di luar, lampu jalan mulai bernyala, menerangi wajah-wajah asing yang sama lelahnya. Kami semua penumpang sementara, transit di antara harapan dan kenyataan.

Tubuh ini turun di Halte Islamic. Langkah kaki berat, tapi ringan saat memandang jendela rumah. Dari sini, Mahira sedang melambai-lambaikan buku rapornya. Aku tersenyum. Ini bukan sekadar pulang. Ini ganti baju zirah, untuk bertarung lagi esok hari.

Bagikan tulisan ini ke sesama gladiator urban!
“Kita mungkin lelah, tapi tak pernah sendiri.” – Anonim

Catatan :
Komentar dan cerita pengalaman “gladiator urban” kalian sangat dinantikan! Ceritakan di kolom bawah ini 👇

Leave a Reply