Cinta Buta pada Si Kulit Bundar
Tulisan ini menceritakan hubungan saya dengan sepakbola. Tak perlu mengerti filosofi tiki-taka Pep Guardiola saat menguasai Liga Spanyol dengan Barcelona. Gegenpressing-nya Dortmund kala membuat Bayern Munchen tersedak tenggorakannya. Cinta sepakbola ibarat orang jatuh cinta, tanpa syarat dan memabukkan.
Saya sadari, diri ini bukanlah pandit yang mengerti akan hal teknis seperti kebanyakan orang. Kesukaan semata pada sepakbola. Olahraga dengan penggemar paling banyak di dunia, mengalahkan bola basket dengan globalisasi-nya NBA, bulutangkis yang hanya didominasi China, bahkan Bola Voli dengan penampilan apiknya Megawati bersama Red Sparks di Korsel.
Menyukai sepak bola membuat saya seperti bola yang terperangkap di selokan, berputar tanpa kendali dan arah, seperti kehilangan gravitasi. Saya mencoba beberapa fragmen dalam diri bersama si kulit bundar. Olahraga yang pernah saya mainkan dengan kaki telanjang, sandal sebagai tiang gawang, dan jalan beton sebagai lapangan saat masih bocah bersama kawan di Jelambar. Di tempat itu, kawan kecil yang dulu berebut bola plastik kini tak lagi saling menyapa.
Kenangan Sepak Bola Jalanan Jelambar Era 90-an
Saya tumbuh dengan televisi hitam putih. Bermain sepak bola dengan kawan kecil di jalanan gang sempit dengan telanjang dada, tidak melunturkan mimpi menjadi Maradona, Michael Platini, bahkan Pele. Nama-nama itu kami dengar dari para orang tua di sudut gang sempit. Atau di pinggir rel tempat saya tumbuh.
Tidak ada waktu istirahat. Permainan terhenti sejenak saat tukang bakso dengan gerobaknya melintas. Kami biasanya akan berseru “cepat, bang. Lama amat, sih. Kami lagi main bola, nih” agar gerobak baksonya didorong dengan cepat. Permainan akan berakhir bukan karena wasit meniup peluit panjang. Tapi teriakan ibu kita “udah sore!. Cepat mandi!”.
Mimpi Bersama Kawan Seperjuangan: Cepot, Nanang, dan Kebot
Cepot, Nanang, dan Kebot sebagian dari teman kecil bermain bola. Sayangnya komunikasi kami sekarang pecah seperti bola plastik yang kami sepak. Nanang selalu bermimpi menjadi Michael Platini, seakan kami adalah Alain Giresse, Jean Tigana, dan Luis Hernandez rekan kuartetnya di Perancis saat menjuarai Liga Eropa 1984.
Cepot yang namanya terinspirasi dari tokoh punakawan (tokoh jenaka dalam wayang), selalu bersikap bak kapten lapangan. Berisik dan selalu mengatur. Apa yang mau diatur dalam permainan bola plastik, pikirku saat ini bila mengingat masa kecil. Nendang bola aja nggak benar, mungkin kalimat itu keluar saat Michael “Nanang” Platini bersama kami berkumpul mengenang masa kecil. Di tim itu, hanya saya yang bisa menendang dengan kaki kiri bukannya kebot. Kebiasaan menendang dengan kaki kiri karena kuku kanan saya memang rusak hingga kini.
Realita Kehidupan Kawan Lama
Nanang kini meneruskan kebiasaan kecil waktu bermain bola. Bercumbu dengan debu jalanan menjadi tukang ojek online, menyusuri gang sempit tempat kami bermain bola. Cepot mewujudkan mimpinya menjadi kapten kesebelasan di usahanya. Kebot yang tidak bisa menendang dengan kaki kiri menjadi pegawai serabutan demi pundi rupiah di Jelambar. Sedangkan saya menjadi buruh negeri yang sempat terdampar di Pontianak dan terasing di Tangerang—wilayah yang dulu menjadi garis demarkasi Kesultanan Banten dan VOC.
Transformasi Permainan: Dari Bola Plastik ke Stik Playstation
Sekarang saya jarang menjumpai bola plastik yang pecah karena beradunya kaki di jalanan. Diganti dengan permainan futsal dengan sistem patungan. Bahkan tergantikan oleh mini soccer di lapangan rumput sintetis. Tak ada lagi gelak tawa anak kecil. Hilang sudah ceceran darah di lutut saat menahan kaki agar tak limbung di lapangan tembok.
Waktu bergulir, permainan pun bertransformasi: dari tendangan liar di jalanan ke klik tombol di layar. Bola plastik digantikan stik Playstation. Sendal sebagai tiang bersalin menjadi karpet dan AC di penyewaan Playstation. Jalanan beton yang menjadi lapangan kami di tahun 90-an berganti permainan FIFA di rental.
Gema Tawa Masa Kecil yang Tersisa
Bola plastik kami mungkin telah jadi sampah, tapi di setiap retakan lapangan futsal, saya masih mendengar gelak tawa masa kecil, suara yang mengingatkan: kami pernah bebas, sebelum zaman mengurung kami dalam kotak
