Categories
Catatan

Surat Cinta dari 800 Kilometer

Pernahkah terbayangkan 10 tahun lalu. Saat pertama bertemu? Di restoran cepat saji pada sebuah jalan protokol yang namanya ditasbihkan dari Pahlawan Revolusi. Ahmad Yani. Tapi semua orang Pontianak menyebutnya “Ayani”. Jalan yang penuh dengan segudang cerita, seperti kita. Saat itu, kamu dan aku adalah entitas asing. Kini menjadi satu, kita. Perlahan kita tumbuh,  bermetamorfosis menjadi keluarga kecil dengan hadiah besar, dua gadis kecil, yang membuat hidup kita menjadi riuh. Kamu, mereka kini menjadi tanggung jawab besarku—juga sumber bahagiaku.

Ada banyak fragmen. Tawa ceria di sore hari, tangis di malam hari, diam yang kadang lebih dari ricuh. Itu semua warna, bukan luka.

Terkadang aku cemburu pada angin, ia bebas berkelana, mengarungi laut Jawa, mengunjungi tempat kamu tinggal. Delapan ratus kilometer jaraknya, jeda yang menggantung di antara rindu.

Saat senja tiba dan malam menghampiri, aku selalu berpesan pada bintang untuk menerangi kegundahan hatimu. Menitipkan pesan padamu dan kedua putri kita. Ini hanya sementara seperti lirik lagunya Float.

Sementara lupakanlah rindu

Sadarlah hatiku hanya ada kau dan aku

Dan sementara akan kukarang cerita

Tentang mimpi jadi nyata

Tanpamu, hidup hampa. Tak ada keindahan mezzo-sopran dari balik kamar saat handuk bekas mandi kutaruh di kasur. Hilang sudah riangnya alto yang mengajak aku dan kedua putri untuk makan malam. 

Dan sejauh apapun jarak, kamu tetap rumah pertama yang ingin kutuju.

By Andi Kusuma Irfandi

Gladiator urban yang menyulam cerita lewat blognya sebagai ruang berbagi: merajut luka tanpa melukai, menyalakan cahaya dalam sepi, dan mengajak setiap pembaca untuk duduk sebentar, bertukar kisah.

Leave a Reply