Gladiator Senja di Jalan Beton

Pukul 06.17. Tol Merak-Jakarta bergetar seperti urat nadi yang tersumbat karat. Ribuan kendaraan menggeram, mengunyah aspal yang masih berbau anyir embun pagi. Di dalamnya, para gladiator modern bersiap. Mereka yang mengikat dasi bagai tali gantung, menyemir sepatu layak baju zirah, dan mengepakkan nafas terakhir sebelum masuk coloseum bernama Jakarta.

Bajuku hari ini: helm proyek bekas yang masih menyimpan bekas pukulan hujan asam pekan lalu. Jaket kulit sintetis, tameng dari angin yang kerap menyelinap lewat lubang kemacetan. Di saku, receh receh koin bergemerincing laksana nyanyian hantu, “Tagihan sekolah, cicilan motor, listrik yang terus merangka.”

AC mobil jemputan menyemburkan dingin yang menusuk tulang. Tapi aku tak bisa terlena. Di jendela, bayangan Sungai Kapuas masih menari, airnya yang dulu mengajarku tentang kesabaran, kini terperangkap dalam botol aqua bekas di pinggir jalan. “Lupakan aku,” bisiknya, “kalian semua sudah jadi mesin.”

Billboard-billboard menjulang seperti nisan raksasa. Satu menawarkan sekolah internasional dengan senyum gadis kecil berseragam putih. Nazya, putriku, minggu lalu menggambar kapal di kanvas sewaan, lautnya biru neon, langitnya merah darah. “Ini masa depan, pak!” katanya sambil mencolek cat ke hidungku. Aku tersenyum pahit. Jakarta memang tak punya laut, hanya genangan air hujan yang mengering jadi peta kekalahan.

Di sebelahku, sopir memutar lagu dangdut koplo. Bass-nya berdetak seperti jantung kota yang aritmia. “Kita semua binatang jalang,” gumamku menatap spanduk “Diskon 70% s.d. tutup usaha”. Mahira, si bungsu, tadi subuh bertanya: “Bapak, apa beda nasib baik dan rezeki?” Kujawab dengan menggenggam erat tangannya yang masih bau krayon: “Nasib itu seperti kemacetan ini. Rezeki adalah rem tangan yang masih mau bekerja.”

Lampu merah di Tomang menyala 180 detik. Kulihat wajah-wajah di mobil sebelah: mata berkantung, kerah kemeja kusut, gawai yang memantulkan bayangan mereka sendiri. Kita semua aktor yang tak pernah latihan, beradegan sebagai pahlawan kantor, sementara dompet menangis dalam diam.

Tiba-tiba klakson meraung-raung. Perjalanan berlanjut. Di dashboard, foto istriku tersenyum dengan latar blog madrepedia.com-nya. “Kau menulis tentang cahaya,” bisikku pada foto itu, “sementara aku bertarung di lorong gelap yang bahkan lilin tak mau menyala.”

Jam 07.13. Gerbang tol Jakarta membuka mulutnya. Aku mengencangkan helm, mengatur nafas. Hari ini harus ada yang dipotong. Rokok? Kopi? Atau mimpi tentang liburan ke TMII yang tak pernah kesampaian?

Di kejauhan, gedung-gedung menjulang seperti pedang-pedang raksasa. Aku tersenyum. Jakarta memang tak pernah berubah, ia tetap gelanggang tempat kita mati pelan-pelan, lalu bangkit lagi esok hari, hanya karena ingat celetukan Socrates kecil di rumah: “Pak, kapan kita main pelangi lagi?”

Bagikan tulisan ini ke sesama gladiator urban!
“Kita mungkin lelah, tapi tak pernah sendiri.” Anonim

Catatan :
Komentar dan cerita pengalaman “gladiator urban” kalian sangat dinantikan! Ceritakan di kolom bawah ini 👇

Leave a Reply