Kisah Jono: Mengelola Keuangannya sebagai Pekerja Migran

Malam perlahan menyelimuti Gyeonggi-do, kota kecil tempat Jono menjalani kehidupannya sebagai pekerja migran. Angin musim semi yang hangat membawa aroma bunga yang khas, menemani kesunyian kamar kecilnya yang sederhana namun penuh cerita. Di sudut kamarnya yang sempit, Jono duduk menatap buku catatan kecil yang hampir penuh dengan angka-angka dan coretan harapan. Di balik angka-angka yang tertulis, tersembunyi kisah perjuangan dan ketekunannya dalam mengelola keuangan pekerja migran Indonesia. Buku itu bukan buku biasa, melainkan cermin perjuangan, tekad, dan harapannya selama berada di Korea Selatan.

Saat memutuskan merantau jauh dari kampung halamannya di Jawa Tengah, Jono datang dengan segudang impian besar, sama seperti ribuan pekerja migran lainnya. Ia membayangkan akan mudah menabung dan pulang dengan keberhasilan. Namun, realitas segera menyapanya dengan keras. Korea Selatan, meski tampak berkilau di layar televisi, memiliki tantangan finansial yang berat untuk para migran seperti dirinya. Biaya makan, sewa tempat tinggal, transportasi, hingga pakaian musim dingin ternyata jauh lebih mahal dari perkiraan awal.

Pengelolaan Keuangan Pekerja Migran Indonesia

Tekanan sosialpun kerap datang dari keluarga di tanah air. Menghubunginya, meminta bantuan dana tanpa memahami kondisi keuangan. Permintaan ini kadang untuk keperluan mendesak, namun sering kali juga muncul dari keinginan konsumtif yang tak mendesak. Seperti, beli Sepeda Motor, Televisi, Kulkas, dan handphone serta barang konsumtif lainnya. Di sinilah Jono menyadari pentingnya kebijakan dalam mengelola keuangan agar tidak terjebak dalam lingkaran hutang atau pulang tanpa hasil.

Keuangan Pekerja Migran Indonesia
Alokasi Pembagian Keuangan Pekerja Migran Indonesia yang diterapkan Jono

Jono kemudian memutuskan mengambil jalan berbeda dari kebanyakan temannya. Ia mulai belajar mendisiplinkan dirinya dalam pengaturan finansial. Ia menyusun empat pos pengeluaran keuangan pekerja migran dengan jelas dan terukur yang dijalankannya dengan konsisten setiap bulan :

  1. 30% untuk biaya hidup sehari-hari, mencukupi tetapi tidak bermewah-mewahan.
  2. 10% sebagai dana darurat, sebuah persiapan jika ada keadaan mendesak yang tak terduga, seperti sakit atau kecelakaan.
  3. 30% rutin dikirim ke keluarganya di Indonesia, namun dengan tujuan yang jelas dan direncanakan bersama ibunya.
  4. 30% ditabung untuk masa depan. Hal ini dilakukan melalui rekening khusus untuk pekerja migran Indonesia yang disediakan oleh bank pemerintah.

Yang menarik dari Jono adalah caranya dalam mengirim uang kepada keluarganya. Setiap kali akan mengirimkan uang, terlebih dahulu menelepon ibunya untuk berdiskusi. Percakapan itu lebih dari sekadar pemberitahuan. Ini adalah ritual penting yang mempererat hubungan. Ritual ini memastikan bahwa setiap uang yang dikirimkan benar-benar memiliki manfaat nyata. Pesannya sederhana namun penuh makna, “Bu, ini buat sekolah adik, ya. Sisanya bisa untuk modal tanam cabai atau renovasi kamar mandi.” Dengan begitu, setiap rupiah yang dikirim memiliki tujuan jelas dan bermanfaat.

Pengalaman hidup rekannya, Andi, yang lebih memilih menikmati masa mudanya dengan gaya hidup konsumtif, menjadi pelajaran berharga bagi Jono. Ia menyadari bahwa meskipun menikmati hidup tidak salah, namun hidup harus memiliki keseimbangan antara kesenangan hari ini dan persiapan masa depan. Jono percaya bahwa dengan keseimbangan ini, ia bisa menikmati hidup sekarang tanpa mengorbankan masa depannya.

Meningkatkan Literasi Keuangan Pekerja Migran : Kunci Masa Depan

Kalau sudah capek-capek kerja di negeri orang, pastikan uangmu juga kerja untuk kamu.

Untuk mengisi waktu luangnya, Jono aktif mengikuti berbagai media pembelajaran finansial. Jono rutin belajar dari video edukasi YouTube. Dia mengikuti informasi dari situs resmi Otoritas Jasa Keuangan (OKJ) dan Bank Indonesia. Jono juga mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI). Melalui cara ini, Jono tidak hanya mengelola keuangannya dengan baik tetapi juga meningkatkan literasi keuangannya secara bertahap.

Dengan kontrak kerja yang tinggal satu tahun lagi, Jono sudah memiliki rencana matang dan optimisme yang kuat. Ia tidak ingin pulang ke kampung halaman dengan tangan kosong atau sekadar membawa barang-barang konsumtif tanpa nilai tambah. Ia bercita-cita membeli sebidang tanah kecil di desanya. Ia ingin merenovasi rumah ibunya agar lebih layak dan nyaman. Ia juga berencana membuka bengkel motor kecil di dekat pasar kampung halamannya.

Selain itu, Jono juga mulai mempelajari bisnis digital sebagai keterampilan tambahan. Ia membantu temannya berjualan aksesori HP secara online pada waktu luangnya, belajar mulai dari membuat katalog hingga melayani pelanggan. Dengan begitu, ia tidak hanya membawa pulang tabungan tetapi juga keterampilan baru yang bisa membantunya membangun usaha sendiri kelak.

Dalam komunitas pekerja migran Indonesia di Korea Selatan, nama Jono mulai dikenal luas. Bukan karena kekayaannya, tetapi karena konsistensi dan kedisiplinannya dalam mengatur keuangan. Banyak dari rekan-rekannya yang awalnya skeptis, kini mulai bertanya dan meminta saran kepadanya. Dalam diskusi-diskusi informal atau pertemuan daring, Jono sering membagikan pesan sederhana. Namun pesannya dalam: “Kalau sudah capek-capek kerja di negeri orang, pastikan uangmu juga kerja untuk kamu.”

Pesan ini bukan sekadar slogan, melainkan prinsip hidup yang telah ia buktikan sendiri. Pengalaman Jono telah menginspirasi banyak pekerja migran lainnya. Pulang ke Indonesia dengan kepala tegak dan dompet penuh adalah hal yang sangat mungkin. Ini dapat dilakukan dengan perencanaan keuangan yang baik dan konsisten.

Pulang dengan Persiapan adalah Kemenangan

Jono percaya bahwa pulang bukan akhir dari perjuangannya, tetapi awal dari babak baru yang penuh harapan. Ia tidak ingin mengulangi kisah sedih senior-seniornya yang pulang dengan tangan kosong meski telah bertahun-tahun bekerja keras di luar negeri. Bagi Jono, kembali ke tanah air harus dengan modal nyata: uang, ilmu, keterampilan, dan kemandirian finansial. Semua ini terjadi karena kemampuan Jono mengatur keuangan pekerja migran.

Kisah Jono adalah sebuah inspirasi nyata bagai mengatur keuangan pekerja migran. Dengan tekad kuat, kedisiplinan finansial, dan perencanaan yang matang, mimpi pulang ke Indonesia dengan kepala tegak menjadi lebih mungkin. Rekening penuh bukan hanya mimpi belaka. Mimpi tersebut bisa menjadi kenyataan yang membanggakan. Jono kini semakin dekat dengan mimpinya, meniti jalan pulang dari negeri ginseng dengan penuh harapan dan rasa percaya diri.

Leave a Reply