Kali pertama menyantap siomay Bandung di Pontianak terjadi beberapa waktu setelah tiba di kota ini. Siomay bandung bu Yayu lah yang pertama ku sambangi bersama kawan kantor.
Maklum, sebagai penghuni baru kota Khatulistiwa. Hal pertama yang harus diketahui adalah tempat makan dan nongkrong.
Saat hujan mengguyur kota Pontianak. Tetiba istri mengajak menikmati siomay. Saya pun mengiyakan ajakannya.
Siomay bandung bu Yayu bukanlah pilihan pertama disambangi. Siomay Nur Ali yang terletak di Jalan Weh samping Gereja HKBP lah tujuan awalnya. Karena menu siomay sudah tak ada. Mau tidak mau siomay bu yayu menjadi pilihan demi menuntaskan hasrat.
Siomay Bandung Bu Yayu
Siomay Bandung bu Yayu yang sudah ada tahun 1981, saat ini berada di Jalan Sultan Abdurrahman. Sebelumnya berada di depan Polda Lama.
Saat masuk ke tempatnya kita akan bertemu dua meja di sebelah kanan yang berfungsi sebagai kasir dan tempat meracik siomay. Dibelakang kedua meja tersebut terdapat dapur yang digunakan untuk memasak.
Sebelah kiri pintu masuk akan berjejer bangku dan kursi yang digunakan konsumennya. Kalau kita berjalan lurus akan ada beberapa meja dan kursi untuk pengunjung. Tak lupa ada kursi ayunan untuk kita bersantai.
Kami memutuskan untuk menuju meja dekat kursi ayunan. Ruang yang sedikit terbuka serta kursi ayunan lah penyebabnya.
Dua porsi siomay serta air tahu dan es cendol menjadi pilihan kami. Memang ada menu lain. Tak elok rasanya pergi ke tempat makan siomay, kami memesan nasi ataupun ayam goreng.
Siomay yang ditaburi bumbu kacang terasa menggoda. Ini yang membuatnya mampu bertahan selama 39 tahun. Sayangnya tak ada kol rebus kesukaan istri dan pare kesukaan saya dalam hidangan siomaynya. Sesuatu yang saya sesali.
Tanpa Kol dan Pare
Dalam seporsinya akan tersaji siomay, tahu, kentang dan telur tanpa kol serta pare.
Saat kami mencicipinya, ikannya terasa walaupun tidak begitu kuat seperti siomay pada umumnya. Dari beberapa siomay Bandung yang saya rasakan di Pontianak, mungkin hanya disini ikannya dapat dirasakan. Maklum harga seporsinya Rp 20 ribu.
Atau ada siomay Bandung di Pontianak lainnya yang kuat rasa ikannya dan belum sempat dinikmati?
Akan berbeda bila kita menyantap siomay yang biasa dijajakan keliling dari tempat ke tempat. Hanya terigu yang terasa walaupun bumbunya cukup nikmat. Mahfum saja harganya cuma Rp 10 ribu. Tentu saja berbeda kualitasnya.
Ketiadaan pare dalam seporsi siomay bandung merupakan hal yang tak biasa. Maklum sudah terbiasa menyantap pare dalam seporsi siomay. Tapi kembali lagi ke selera masing-masing.
Apakah saya akan kembali menikmati sajian siomay tanpa pare? Sepertinya saya harus beradaptasi dengan selera masyarakat demi menikmati seporsi siomay bandung di Pontianak 🙂 .