Akhir-akhir ini, saya sedang asyik mencoba kegiatan baru. Menulis di buku harian saat malam hari. Seperti masa lalu (era 90-an) saat teknologi belum berkembang cepat seperti sekarang. Bahkan, perangkat komputer pun sedikit yang memilikinya.
Walaupun saya memiliki blog. Menulis di buku harian ternyata memiliki kesenangan tersendiri. Kalau tak percaya, coba aja sendiri π. Bahkan beberapa bulan terakhir lebih sering menulis di buku dibandingkan blog.
Alatnya hanya buku dan pulpen. Jangan lupa dengan niat, seperti menulis di blog.
Kalau dulu, waktu menulis di buku harian, kalimat pertamanya rerata dengan awalan “dear diary” π. Sekarang sih tidak perlu dengan awalan seperti itu. Menulis bebas aja. Yang penting, apa yang ada dalam isi kepala harus dituangkan biar pikiran lebih fresh dan menstabilkan emosi.
Bagi saya ditengah padebluk Covid-19 yang belum jelas kapan berakhirnya. Selain kesehatan jasmani, mental yang sehat itu sangatlah penting. Mungkin ini disebut dengan terapi menulis.
Sebab dengan menulis di buku harian, saya merasakan ketenangan sekaligus menajamkan ingatan agar tidak cepat pikun.
Buku harian ini sebagai penyaluran kemarahan dan kegelisahan yang tidak bisa saya ungkapkan karena satu dan lain hal. Daripada kemarahan dan kegelisahan itu saya pendam sendiri lebih baik dituangkan dalam buku harian. Lega dan plong di dada π
Beberapa tokoh besar Indonesia dan Dunia pada masa lalu rerata menulis di jurnal harian. Dari jurnal harian itulah, kita mengenal lebih jauh diri orang itu, baik pemikiran, pandangan, pribadinya, maupun emosinya.
Saya tidak banyak berharap dengan menulisnya. Untuk kenangan masa tua nanti saat mempunyai cucu.
Kan enak, saat tua nanti bisa mengenang masa lalu sambil membaca apa yang pernah ditulis.
Dan saya membayangkan betapa menyenangkannya saat itu.