Tentang satu siang di Jakarta yang tidak luar biasa, tapi cukup. Tentang keberanian berhenti sebentar di kota yang terus berlari.
Tebet Eco Park bukan hanya taman kota. Ia adalah ruang jeda. Tempat diam yang menyembuhkan. Saya menemukan itu pada satu siang, tepat 18 Juni 2025 pukul 12.08 WIB, saat duduk sendirian di lantai dua sebuah bangunan kecil bernama Bright Store, minimarket yang biasanya ku singgahi saat membeli bensin untuk sekedar beli minum atau mampir ke toilet. Tapi hari itu, ia menjadi panggung kecil bagi diam saya.
Saya tidak sedang cuti, tidak juga kabur dari tanggung jawab. Saya hanya mencuri waktu. Dari jadwal yang terlalu padat, dari notifikasi WhatsApp kantor yang tak pernah benar-benar sunyi, dari kalender yang seperti tak pernah selesai diklik. Saya duduk. Diam. Menonton kehidupan berjalan dari ketinggian dua meter. Dan entah kenapa, itu terasa cukup.
Kopi Dingin dan Onigiri yang Tak Direncanakan
Di atas meja putih yang sedikit usang, berdiri satu cangkir kertas merah-putih. Di tubuhnya tertulis: BRIGHT Store by Pertamina. Saya biasa melihat merek itu saat isi bensin, bukan saat butuh tenang. Tapi siang itu, ia hadir sebagai secangkir kopi.

Saya tidak membeli kopi karena haus. Tapi karena saya butuh alasan untuk duduk lebih lama. Saya menyesapnya pelan-pelan. Rasanya? Biasa saja. Suhunya sudah lewat dari hangat. Tapi justru itu yang membuat saya tersadar: beberapa hal tidak perlu sempurna untuk bisa dinikmati.
Di samping cangkir itu, ada satu onigiri. Nasi kepal ala Jepang dengan isian misterius yang saya beli tanpa tahu apa isinya. Bungkusnya kuning mencolok dengan gambar mata besar. Rasanya? Lagi-lagi biasa saja. Tapi siang itu, saya tidak butuh rasa luar biasa. Saya hanya butuh alasan untuk melambat.
Tebet Eco Park: Teduh Tapi Tidak Sepi
Tepat di hadapan saya, Tebet Eco Park menyebar seperti hamparan ketenangan. Pohon-pohon rindang meneduhkan pandangan, padahal Jakarta sedang panas-panasnya. Tapi keteduhan di taman itu bukan keteduhan yang sepi. Ia ramai dengan tawa remaja, dengan motor yang lewat, dengan abang ojek yang memanggil nama penumpang seperti MC dadakan.
Saya menyadari satu hal: kota ini tidak akan pernah diam. Tapi kita bisa menciptakan diam kita sendiri di tengah kebisingannya. Dan diam itu tidak selalu berarti kesendirian. Kadang ia adalah bentuk keberanian. Untuk tidak mengikuti arus. Untuk tidak mengejar apa pun. Untuk hanya hadir.
Meja, Bercak, dan Refleksi
Meja tempat saya duduk mulai terlihat bercak-bercak tua. Ada noda kopi yang sudah mengering, ada bekas sambal, mungkin juga abu rokok. Tapi meja itu tidak malu. Ia tetap berdiri. Tetap memantulkan langit mendung Jakarta. Tetap memantulkan bayangan saya yang sedang tidak ingin jadi siapa-siapa.

Saya memotret meja itu. Cangkir kopi, bungkus onigiri, tutup plastik, dan sedotan. Semua tampak biasa. Tapi saya tahu, lima atau sepuluh tahun lagi, foto itu akan menjadi pengingat: bahwa pernah ada satu siang, di lantai dua Bright Store, saya duduk diam dan membiarkan dunia berjalan tanpa saya kejar.
Hidup dari Kacamata Balkon
Dari balkon kecil itu, saya melihat dunia dengan cara yang berbeda:
- Sepasang pengendara motor melaju berdampingan, seperti dua tokoh dalam film indie yang tak tahu harus berkata apa.
- Seorang perempuan berhijab ungu berdiri menunggu jemputan. Ia melihat jam, lalu ponsel, lalu kembali melihat jam. Saya bisa menebak isi kepalanya: apakah saya ditinggal?
- Dua tukang parkir mengobrol sambil tertawa kecil, seperti hidup mereka jauh lebih ringan dari tagihan kartu kredit saya.
Dan saya? Saya tidak sedang jadi bagian dari mereka. Saya hanya menonton. Diam-diam. Tanpa notifikasi. Tanpa rencana untuk merekam. Tanpa kewajiban untuk membagikan.
Persimpangan dan Arah yang Tak Selalu Jelas
Tebet Eco Park berdiri tepat di persimpangan jalan. Dan saya menyukai itu. Karena persimpangan adalah metafora yang terlalu indah untuk diabaikan. Hidup pun begitu. Penuh belokan, pilihan, dan kadang arah yang kabur. Kita sering memilih jalur bukan karena yakin, tapi karena takut ketinggalan. Atau sekadar ikut-ikutan.
Tapi apa salahnya berhenti sebentar? Duduk di pinggir jalan. Menyeruput kopi dingin. Memikirkan hidup yang tidak harus selalu menuju.
Diam: Bukan Kelemahan, Tapi Keberanian
Dunia hari ini dibangun atas dasar produktivitas. Kalau kita tidak membagikan aktivitas, seolah-olah kita tidak melakukan apa-apa. Kalau kita tidak mengunggah hasil kerja, seolah-olah kita tidak berguna. Tapi apa salahnya duduk diam?
Apa salahnya tidak membuktikan apa-apa? Tidak berlari ke mana-mana? Tidak mengejar validasi?
Tebet Eco Park menawarkan ruang untuk itu. Ia seperti koma panjang dalam kalimat kota yang terlalu cepat. Ia mengizinkan kita berhenti. Bernapas. Tidak untuk menyerah, tapi untuk mengingat.
Hari Itu, Saya Hadir Sepenuhnya
Saya tahu, waktu saya terbatas. Setelah ini saya akan kembali ke spreadsheet, ke notulen, ke dokumen Word dan file PDF yang tak pernah selesai. Tapi sebelum saya kembali, saya ingin menuliskan ini.
Bahwa pada 18 Juni 2025 pukul 12.08 siang, saya hadir sepenuhnya di Tebet Eco Park.
Saya makan onigiri dengan isian butiran ayam. Saya minum kopi yang sudah dingin. Saya duduk di lantai dua minimarket yang tidak saya rencanakan. Dan saya merasa bahagia. Bukan karena semuanya sempurna. Tapi karena saya tidak mengejar apa pun. Saya hanya hadir.
Kalau kamu membaca ini sambil menunggu lift, atau di sela dua rapat, atau saat kopi kamu baru dipesan. Berhentilah sebentar.
Kamu tidak harus ke Tebet Eco Park. Tidak harus duduk di lantai dua Bright Store. Bahkan di bangku taman belakang kantor pun bisa.
Yang penting: berani untuk tidak tergesa.
Yang penting: berani diam.
Karena dalam dunia yang terus bergerak, berdiam adalah bentuk paling sunyi dari perlawanan. Dan kadang, yang kita butuhkan bukan langkah berikutnya, tapi secangkir diam di tengah perjalanan.
Saya menyebutnya: Refleksi dari Tebet Eco Park.
Dan saya harap, kamu juga sempat mencicipinya.