Pulpen Parker mungkin hanya alat tulis seperti pulpen pada umumnya bagi sebagian orang. Tapi bagi saya, ia adalah semacam mesin waktu. Ia bukan hanya menulis, tapi menyimpan suara-suara yang tak sempat saya ucapkan, kalimat yang tak sempat saya selesaikan. Pulpen itu jadi saksi hidup. Dari Jelambar ke Pontianak hingga terdampar di Serpong. Dari bangku sekolah hingga meja kerja.
Saya tidak terlalu suka bicara. Bahkan ketika harus bicara, saya kerap mengalirkan lebih dulu kata-kata ke kepala, menyaringnya satu per satu, sebelum memutuskan mana yang boleh keluar, dan mana yang sebaiknya disimpan saja dalam hati. Mungkin itu sebabnya saya lebih suka mencatat.
Bukan karena saya pintar. Justru karena saya senang mencatat.
Di rumah masa kecil saya di Jelambar, ada satu kebiasaan yang mungkin dianggap aneh oleh kawan-kawan sekelas saya waktu itu. Duduk sendiri di balkon depan kamar, mencatat hal-hal sepele yang saya dengar dari radio, percakapan orang dewasa yang lalu-lalang depan rumah, bahkan dari potongan koran.
Apapun bisa saya tulis. Termasuk slogan “Xon-Ce nya mana?!” yang sempat saya ulang-ulang seperti mantra.
Tapi semua itu bermula dari satu cerita pendek di Majalah Bobo. Saya tak ingat judulnya, tapi saya ingat tokohnya: seorang anak laki-laki yang selalu memakai waistbag, membawa buku catatan kecil dan pulpen. Ia tidak pandai berkelahi, tidak jago main bola, agak kikuk di depan teman-temannya, tapi ia mencatat setiap hal baru yang belum ia mengerti.
Ia tidak heroik. Tapi bagi saya kecil, ia pahlawan dalam diam. Pahlawan pencatat.
Pulpen Parker yang Mengalirkan Suara Diam
Sejak saat itu, saya mulai mencatat. Tapi saya tak punya waistbag. Maka pulpen dan buku catatan kecil saya simpan di saku seragam SMA saya di Tomang. Pulpennya? Parker. Bukan saya beli. Saya comot dari meja kerja bapak.
Dan, entah mengapa, sejak itu saya punya hubungan sentimental dengan pulpen Parker. Bukan karena bentuk atau harganya, tapi karena semacam rasa. Saat memegangnya, saya merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari sekadar mencatat.

Pulpen Parker bukan hanya alat tulis. Ia seperti tongkat sihir. Ia bukan cuma menulis, tapi mengalirkan suara-suara yang tak sempat saya ucapkan. Ia menyimpan percakapan rahasia saya dengan dunia.
Pernah satu kali, saya kehilangan pulpen itu. Entah di Mikrolet atau tercecer di kantin sekolah. Tapi rasanya seperti kehilangan akses menuju sisi tenang dari diri saya sendiri.
Saya pun mencuri lagi dari laci bapak. Kali ini dengan niat: “Nanti saya belikan lagi buat Bapak kalau sudah kerja.”
Nyatanya, sampai saya bekerja, janji itu tinggal janji. Tapi saya tetap mencatat.
Menulis di Kertas, Berdamai dengan Jeda
Kini dunia sudah berubah. Kita bisa menulis di Notes ponsel, mencoret di Aplikasi Notes dengan stylus, atau sekadar menyimpan suara di Voice Recorder. Saya pun sudah mencoba semua. Tapi rasanya tak pernah sama.
Menulis pakai tangan punya cara magis sendiri. Ia memaksa kita untuk pelan. Memilih kata. Berdamai dengan jeda. Dan dalam keheningan itu, saya merasa lebih utuh.
Beberapa orang bilang saya kolot. Tapi saya percaya, tak semua hal harus efisien. Ada hal-hal dalam hidup yang kita lakukan bukan karena berguna, tapi karena ia berarti.
Dulu saya kira mencatat itu sekadar cara agar tidak lupa. Tapi makin dewasa, saya sadar. Mencatat adalah cara saya mengingat siapa saya.
Catatan yang Tak Pernah Viral, Tapi Tak Tergantikan
Ada hari-hari dalam hidup yang ingin kita simpan bukan dalam bentuk foto, melainkan dalam kata. Ada perasaan yang tak bisa dijelaskan lewat emoji, tapi bisa dituangkan lewat kalimat sederhana:
“Hari ini langit Tangerang warnanya aneh sekali. Seperti ada yang sedang menahan tangis.”
Saya menulis itu sambil duduk di sebuah kafe di Mall dekat rumah, ditemani segelas kopi hitam pahit yang sudah dingin, dan sebuah buku catatan kecil yang saya bawa ke mana pun saya pergi.
Isinya? Catatan remeh-temeh:
- “Nazya suka menggambar tapi tidak mau mewarnai.”
- “Mahira bilang: ‘Ayah jangan kerja terus, nanti aku jadi lupa suara ayah.’”
- “Idul Adha 2025, terakhir kali kami merayakannya terpisah.”
Kalimat-kalimat itu mungkin tidak penting bagi dunia. Tapi penting bagi saya. Karena di sana tersimpan suara anak-anak saya, aroma rumah, dan rindu yang tak bisa dikirim lewat ekspedisi.
Dan saya tulis semua itu dengan pulpen Parker. Bukan karena saya penganut merek, tapi karena ia adalah perpanjangan dari waktu.
Melawan Lupa, Melawan Zaman
Orang boleh bilang, sekarang bukan zamannya mencatat manual. Tapi saya tetap membawa buku kecil dan pulpen ke mana pun saya pergi. Kadang saya menulis di stasiun, kadang di bandara, kadang di dalam mobil, saat macet dan radio memutar lagu-lagu 90-an.
Mencatat adalah cara saya melawan lupa. Melawan kehilangan. Melawan zaman yang terlalu cepat berubah. Melawan dunia yang makin cerewet, tapi makin sedikit yang benar-benar mau mendengarkan.
Dan pada akhirnya, saya ingin menjadi seperti anak dalam cerita Majalah Bobo itu. Yang diam-diam menyimpan dunia lewat catatan. Yang tak perlu banyak bicara, tapi tahu apa yang ia ingin catat dan ingat.
Sebab Menulis Adalah Menyampaikan Tanpa Berteriak
Satu waktu, Nazya pernah bertanya:
“Ayah, kenapa lebih suka nulis pakai pulpen? Kan di HP bisa lebih cepat.”
Saya jawab sambil tersenyum:
“Karena pulpen itu seperti hati. Kalau menulis pakai hati, kadang pelan, kadang salah, tapi jujur.”
Dan Nazya, seperti biasa, mengangguk sok paham. Tapi siapa tahu, suatu hari nanti, ia akan mengerti. Mungkin saat ia menemukan pulpen Parker saya di laci, dan mulai mencatat dunianya sendiri.