Kelahiran dan kematian sebuah misteri. Hanya Sang Pencipta lah yang mengetahui dua kejadian itu. Kapan, dimana dan bagaimana. Tidak ada seorang pun yang tahu.
Malam. Saat sedang terlelap dibuai mimpi indah. Ponsel saya berdering. Ina, adik saya, mengabarkan berita duka dari seberang pulau “Mamah meninggal, ndi”. Lemas sekujur badan ini mendengarnya.
Kubangunkan istriku yang lelap bersama kedua putri tercinta. “Bu, Enin meninggal” lirihku sembari menggoyangkan kakinya. Saya dan istri memanggil ibuku dengan sebutan “Enin”. Ibuku meminta kepada kedua cucunya yang masih kecil dengan panggilan “Enin”. Panggilan untuk nenek dalam bahasa Sunda.
Siap atau tidak dengan kabar ini. Saya harus mempersiapkannya. Walaupun pahit rasanya.
Air mata tak terasa jatuh. Bingung dan kalut. Tak tahu harus berbuat apa saat mendengar kabar itu.
Pergi ke Kuningan walaupun tak bisa mengantar ke peristirahatan terakhir pilihan yang bijak menurut saya. Peraturan memiliki hasil Rapid test untuk bepergian keluar daerah menghalangi saya untuk terbang dengan pesawat pagi dari Pontianak ke Jakarta.
Setelah mendapatkan hasil Rapid test, saya memutuskan terbang ke Jakarta dengan menggunakan pesawat sore. Harapannya bisa melihat kuburan di keesokan paginya.
Untuk melihat wajah terakhir mamah saja, saya menggunakan video call dari aplikasi WhatsApp. Kalau tidak ada teknologi video call, mungkin penyesalan akan menghinggapi diri selamanya.
Hanya do’a terbaik yang bisa saya persembahkan untuk mamah. Banyak hal baik yang harus saya kenang dan tiru selama hidupnya.
Suatu saat nanti mungkin akan saya posting sebagai pelajaran baik yang harus saya tiru.
Selamat Jalan, Mamah
Ditulis saat mau tahlilan di Pancalang. Desa tempat kelahiran bapak sekaligus tempat peristirahatan terakhir mamah.