Pagi itu, sekitar pukul 07.45 WIB, kami berangkat. Hanya aku dan istriku. Tanpa ribut-ribut khas anak-anak yang berebut sandal atau berseteru soal urutan sarapan. Pagi itu terasa lapang, seolah dunia memberi kami waktu yang utuh. Tujuannya sederhana. Mencari sarapan di Gading Serpong.
Tapi belum lima belas menit di jalan, hidung kami lebih dulu ‘menemukan’ arah. Aroma nasi uduk di Jalan Kelapa Puan menggoda. Sebuah warung tenda, seadanya. Di depan bengkel Kaliber Prima, lengkap dengan lauk sederhana dan sambal kacang yang pedasnya malu-malu. Kami duduk di kursi plastik yang mulai ringkih, seperti sepasang muda-mudi yang pura-pura tak sedang dikejar waktu.
Setelah Sarapan, Menuju Lido
Pukul 08.15 kami melanjutkan perjalanan. Lebih serius kali ini. Kami masuk tol Jakarta–Merak, menuju kantor BNN Banten. Urusan istriku. Aku hanya menemani. Kadang juga jadi teman diam.
Pukul 09.04, kami mampir sebentar di rest area 68A. Bukan karena lelah. Tapi karena kopi. Entah kenapa, kadang kopi terasa lebih penting dari tujuan itu sendiri. Cukup 11 menit. Duduk, seruput rasa pahit yang familiar, lalu kembali melaju.
Pukul 09.35 kami tiba di kantor BNN Banten. Aku menunggu di parkiran, memperhatikan tiga pegawai yang berbicara, menebak-nebak apa yang mereka bincangkan. Pukul 10.12, urusan selesai. Kami melanjutkan ke Lido, Bogor, ke PPSDM BNN. Menyusuri tol Merak–Jakarta dan menyambung ke tol Serpong–Cinere.
Pukul 11.38 kami mampir isi bensin di SPBU BSD. Seperti pelari yang butuh napas sebelum lanjut maraton. Enam menit saja, lalu kembali ke jalan. Langit siang yang sendu menatap kami. Lalu lintas bersahabat, seperti doa yang dijawab diam-diam.
Makan Siang dan Wajah-Wajah yang Lain
12.32 kami berhenti di rest area KM 35 Tol Jagorawi. Waktunya makan siang, dan salat zuhur. Di sana, banyak wajah dan cerita. Sebuah keluarga yang ramai, pasangan muda yang kikuk, sopir truk tertidur di balik kemudi. Mungkin perjalanan memang tempat pertemuan diam-diam: yang lapar, yang lelah, yang hanya singgah.
Pukul 13.51 kami lanjut lagi. Menuju Lido. Setengah jam kemudian, 14.27, kami sampai. Istriku turun dengan semangat. Ia akan menginap untuk pelatihan beberapa hari. Aku menurunkan koper dan barangnya. 14.33 aku pergi. Sendirian.
Sendiri di Tol, Sendiri di Kopi
Tol terasa beda saat sendiri. Tak ada tanya-tanya kecil, tak ada gumam iseng. Hanya lagu lama yang temani. Pukul 15.03 aku berhenti di Starbucks rest area KM 38. Beli kopi. Mungkin karena sunyi kadang butuh teman.
14 menit di sana. Cukup buat rasakan kewarasan datang pelan-pelan.
15.17 aku gas kembali ke Tangerang. Punggung mulai lelah. Tapi masih sempat mampir ke tempat cuci mobil pukul 17.19. Mobil penuh debu. Kupikir, mobil juga layak bersih. Agar perjalanan tadi tak terlalu lama menempel.
Pulang yang Tak Selalu Bersama
18.56 aku tiba di rumah. Rumah yang tadi pagi kami tinggalkan berdua, kini kusambut sendiri.
Tapi ya begitulah perjalanan. Tak selalu pulang dengan orangnya. Kadang hanya struk bensin, secuil sunyi, atau sisa kopi yang makin pahit karena diminum sendiri.
Catatan Penutup:
Perjalanan ini bukan sekadar soal jarak atau tempat. Ia ruang kecil tempat kenangan tumbuh diam-diam. Kadang cuma sepiring nasi uduk, atau kopi yang tak sempat habis. Tapi kalau dikumpulkan, serpihan itu bisa jadi cerita. Lebih besar dari sekadar rute di peta.
Apakah kamu juga punya kisah perjalanan yang diam-diam menyimpan makna? Ceritakan di kolom komentar. Karena kadang, cerita sederhana bisa jadi kenangan yang abadi. Jangan lupa bagikan tulisan ini jika kamu teringat seseorang yang pernah menempuh tol yang sama.