Shell dan Suara Pompa yang Kini Tak Lagi Sama

Satu per satu, dari SPBU di Fatmawati sampai yang di pinggir bypass Cirebon. Plang merah-kuning itu masih berdiri. Lampunya masih menyala. Tapi kau tahu, sesuatu telah bergeser. Seperti seseorang yang mendadak mengganti nama belakang di bio Instagram-nya. Shell, perusahaan minyak multinasional itu, resmi melepas seluruh SPBU-nya di Indonesia.

Bukan karena bangkrut. Bukan pula karena tersandung skandal. Tapi karena mereka tahu kapan harus minggir dari panggung, lalu duduk manis di belakang, cukup jadi pemilik naskah.

Dan kita, penonton yang setia isi V-Power setiap Jumat malam, cuma bisa bengong sambil bilang, “Lho, kok”

Sebuah Kepergian yang Tidak Total

Shell tidak benar-benar pergi. Seperti mantan yang masih share password Netflix, mereka tetap hadir dalam bentuk lain. Sebagai pemasok bahan bakar dan pemegang lisensi merek. SPBU-nya? Kini dipegang oleh perusahaan patungan Citadel Pacific Ltd dari Filipina dan Sefas Group dari Indonesia. Kita mungkin akan tetap melihat logo kerang kuning menyala di malam-malam panjang kita, tapi isinya bisa beda.

Pikiranku langsung melayang ke satu sore puluhan tahun lalu. Isi bensin di SPBU Shell, petugasnya ramah, tempatnya bersih, dan ada rak kecil berisi tisu basah, cokelat impor, dan majalah National Geographic edisi tiga bulan lalu. Hal-hal remeh yang tak ada di SPBU lain. saya ingat berpikir, “Ah, ini SPBU yang dibuat bukan cuma untuk mengisi bensin, tapi juga untuk berhenti sejenak dari hidup yang terlalu cepat.”

Maka kabar ini datang seperti suara pelan pompa yang kehabisan tekanan. Sunyi, tapi terasa sampai ke dalam dada.

Shell yang Tahu Diri

Barangkali ini adalah keputusan yang masuk akal dalam dunia yang makin absurd. Harga minyak fluktuatif, margin bisnis makin tipis, dan mobil listrik sudah mulai menyelip di jalan tol. Shell, dengan segala pengalaman dan insting bisnisnya, memilih keluar sebelum panggung ambruk. Mereka tahu, jadi operator SPBU sudah bukan lagi masa depan. Lebih baik jadi penyedia bahan bakar dan lisensi, biarkan yang lain mengurus urusan toilet rusak dan supir truk yang marah-marah karena diskon e-money tidak berlaku.

Shell, dengan cara yang tenang dan tidak heboh, menyisihkan diri dari keramaian.

Citadel, Sefas, dan Warisan Pompa

Saya tidak mengenal Citadel Pacific Ltd. Tapi dari namanya saja sudah terasa seperti perusahaan yang punya kantor dengan jendela besar menghadap pelabuhan. Mereka memegang lisensi Shell di beberapa wilayah Pasifik, dan sekarang mampir ke Indonesia. Pasangan bisnisnya, Sefas Group, adalah pemain lokal yang sudah kenyang di bisnis pelumas dan distribusi BBM industri.

Mereka bukan pemain baru, dan mungkin akan membawa SPBU Shell ke era yang lebih teknokratik. Lebih efisien. Lebih sesuai KPI. Tapi apakah mereka tahu bahwa di salah satu SPBU Shell di jakarta, ada anak SMA yang suka duduk diam sambil menulis puisi di belakang dispenser nomor dua?

Apakah mereka tahu bahwa SPBU bukan cuma soal liter dan oktan, tapi juga soal jeda dan pelarian?

Kita, Konsumen, dan Ilusi yang Bertahan

Tentu, bagi sebagian orang, ini bukan isu penting. Bensin tetap mengalir, QRIS tetap bisa dipakai, dan toilet masih bersih (semoga). Tapi seperti banyak hal dalam hidup ini, perubahan besar sering datang diam-diam. Dan tahu-tahu, kamu tidak lagi merasa betah mampir seperti dulu.

Saya jadi berpikir, berapa banyak hal dalam hidup yang kita pikir akan tetap ada, padahal diam-diam sudah dijual? Dan ketika akhirnya kita sadar, kita cuma bisa berkata: “Oh, jadi begitu.”

Penutup: Pompa yang Tak Lagi Sama

Shell memang belum benar-benar hilang. Tapi rasanya seperti melihat rumah masa kecilmu dijual. Bangunannya tetap. Tapi warnanya berubah. Sofa favoritmu sudah tidak ada. Dan seseorang yang tak kau kenal sekarang duduk di sana, menyetel musik yang tidak kau pahami.

Mungkin itu cara dunia bekerja hari ini. Cepat, senyap, dan tak memberi waktu untuk berpamitan.

Saya akan tetap isi bensin. Mungkin masih di SPBU yang sama. Tapi setiap kali nozzle itu bunyi “klik”. Saya tahu, yang mengalir bukan cuma bahan bakar tapi juga cerita-cerita yang sudah selesai, dan yang sedang ditulis ulang oleh tangan yang berbeda.

Dan semoga, para pemilik baru tahu caranya menjaga tempat ini. Bukan cuma sebagai bisnis, tapi juga sebagai titik henti, tempat kita sesekali menarik napas panjang di tengah perjalanan hidup yang kadang terlalu panjang dan terlalu sepi.

Leave a Reply