Bagi kami orang Sunda, Persib bukan sekadar klub sepak bola. Sejak didirikan pada 1933, Persib lahir dari rahim perlawanan. Di era kolonial, ketika orang Sunda dilarang berseragam di klub-klub Belanda, Persib menjadi jawaban: bendera kebanggaan yang berkibar melawan diskriminasi. “Darah biru” yang mengalir di tubuh kami adalah darah yang sama yang dulu diperjuangkan oleh para pendiri klub ini. Saya pun begitu, mencintainya tanpa tahu sebabnya.
Almarhum Bapak tak hanya bercerita tentang gol Sutiono atau ketangguhan Robby Darwis. Ia juga berbisik tentang makna Persib sebagai ‘senjata’ orang Sunda melawan rasa inferior yang dipaksakan penjajah. ‘Kami punya Persib,’ katanya, ‘itu bukti kami ada.” Bagi mereka yang berasal dari Kuningan, wilayah yang dingin karena sapuan angin Gunung Ciremai, Adjat Sudrajat dan Robby Darwis adalah legenda urban yang akan selalu dinarasikan.
Persib: Lebih dari Sekadar Klub Sepak Bola bagi Orang Sunda
Saya yang lahir dan besar di Jelambar, daerah penuh penduduk bagai ikan berdempetan dalam jala nelayan, menonton Persib langsung di Bandung adalah suatu kemustahilan. Kecintaan pada Persib hanya bisa diluapkan melalui layar kaca, mulai dari zaman perserikatan hingga sekarang. Sekali saya menonton Persib, itu pun di Gelora Bung Karno Senayan saat final Liga Indonesia pertama tahun 1995 melawan Petrokimia Putra, kompetisi yang mencampurkan antara klub perserikatan dengan Galatama.
Sependek ingatan, di usia belasan, saya mencoba membujuk almarhum Mang Miming (adik almarhum Bapak) untuk menonton secara langsung. Namun, ia tak mau. “Yang menonton pasti banyak,” ungkapnya. Lebih baik menonton di televisi, sambungnya. Tapi bagaimana mungkin? Bagi saya, Persib harus disaksikan dengan darah yang berdesak-desak, seperti para pendiri klub ini dulu yang berdesakan melawan ketidakadilan.
Saya yang sedang kasmaran dengan Persib, tetap ngotot menonton. Setelah rayuan kepada almarhum Mang Miming ditolak, pergi ke rumah saudara di Pesing adalah jalan ninja. Namun, sama saja, cinta bertepuk sebelah tangan.
“Jangan pernah menasihati orang yang jatuh cinta,” ungkapan itu berlaku untuk saya. Ajakan untuk menonton di rumah melalui layar kaca tidak mempan bagi saya. Saya nekat menonton sendiri, walaupun masih kelas 2 SMP.
Bersama 100 ribuan penonton yang mayoritas Bobotoh Persib, saya nekat menonton final Liga Indonesia secara langsung. Setelah penolakan dari saudara yang tinggal di Pesing, dengan kaos Persib di badan dan celana jeans biru, saya nekat menaiki bus Mayasari Bhakti P 18 jurusan Kalideres-Blok M. Bus yang saya naiki penuh sesak. Saya harus bergelantungan di pintu mobil, hampir terjatuh. Untung ada Bobotoh tak dikenal memegang badan ringkih ini. “Masuk ke dalam (bus), dek,” teriak orang yang tak kukenal. Di sini saya sadar: darah biru bukan hanya warna seragam. Ia adalah tali yang mengikat orang asing menjadi baraya sejenna.
Bersama orang yang tak kukenal, kami memasuki Stadion Utama Senayan (sekarang bernama Gelora Bung Karno). Benar saja, saya hanya sebutir beras dalam karung, tak terlihat. Ditengah gemuruh teriakan Bobotoh Persib Bandung yang membahana, saya bukan lagi anak Jelambar yang kesepian. Saya adalah bagian dari gelombang sejarah yang dimiliki pada 1933.
Semua berteriak, menyebut nama Persib, meneriakkan nama duet penyerang Sutiono dan Kekey Zakaria, sang playmaker Yusuf Bachtiar dengan umpannya yang memanjakan duet Persib. Tentu saja, il capitano, Robby Darwis, yang mengorganisir barisan pertahanan Persib dari terjangan duet striker Petrokimia Putra, Jacksen F. Tiago dan Widodo Cahyo Putro. Sisanya hanya sejarah. Sutiono Lamso membuat Darril Sinerine, kiper Petrokimia Putra, memungut bola di jalanya. Persib Bandung meraih juara pertama dengan kemenangan 1-0.
Saat teriakan ‘Persib Juara!’ menggema di Stadion Senayan, saya teringat cerita Bapak tentang pertandingan Persib melawan tim Belanda di era 1930-an. Kemenangan ini seperti mengulang sejarah: kami, orang Sunda, sekali lagi membuktikan bahwa darah biru bukan sekadar mitos. Ia adalah warisan yang mengalir, dari pendiri klub hingga ke anak SMP yang nekat naik bus.
Kemenangan di final 1995 bukan akhir cerita, melainkan babak baru dalam rantai panjang sejarah yang membuktikan: selama “darah biru” mengalir, urang Sunda dan Persib tak akan lekang oleh waktu.