Tan Joe Hok dan Kenangan yang Tak Pernah Gugur di Lapangan

Seorang legenda tak pernah benar-benar mati. Ia hanya berpindah tempat dari panggung dunia ke altar kenangan. Dan hari ini, Indonesia kembali berkabung bukan hanya karena seorang atlet telah tiada, tetapi karena sepotong sejarah telah menyelesaikan putaran terakhirnya.

Di Antara Algoritma dan Raket Usang

Tan Joe Hok, lelaki yang lebih dulu membuat bulu tangkis Indonesia diperhitungkan sebelum shuttlecock itu akrab ditayangkan di layar kaca, wafat di usia 87 tahun. Ia pergi dalam senyap pada 2 Juni 2025, di antara suara gaduh dunia yang kini terlalu sibuk dengan algoritma, konten viral, dan selebrasi yang lebih sering dibuat-buat.

Tapi Tan Joe Hok bukan konten. Ia adalah konteks.

Lelaki berdarah Tionghoa kelahiran Bandung, 1937 itu, adalah kisah tentang bagaimana raket bisa lebih berbahaya dari senapan, dan bagaimana kemenangan bisa menghapus garis-garis diskriminasi dalam satu ayunan backhand.

Dari Bandung ke Wembley

Di zaman ketika olahraga belum dipoles sedemikian rupa oleh sponsor dan pencitraan digital, Tan Joe Hok tampil sederhana. Kurus, pendiam, tapi dengan sorot mata yang tajam seperti garis smash yang menukik. Ia bukan produk pelatnas, bukan pula hasil dari sistem pembinaan nasional yang rapi. Ia adalah hasil dari kegigihan, dan mungkin sedikit keberuntungan sejarah.

Tahun 1959, saat dunia masih memperdebatkan Perang Dingin dan Indonesia baru saja memijak tahun ke-14 kemerdekaannya, Tan Joe Hok melaju ke All England, turnamen bulu tangkis paling prestisius kala itu. Dan ia menang. Bukan perunggu. Bukan perak. Tapi emas.

Kemenangan itu tidak hanya mencatatkan namanya sebagai orang Indonesia pertama yang menjuarai All England. Ia menjadi simbol dari dua hal yang jarang berdampingan dalam sejarah nasionalisme Indonesia. Olahraga dan minoritas.

Sejak saat itu, lapangan bulu tangkis bukan lagi sekadar ruang kompetisi. Ia menjadi mimbar, menjadi tempat pembuktian bahwa Indonesia bisa, siapa pun kamu, selama kau memberi segalanya untuk negeri ini.

Raket dan Identitas

Sebagai anak bangsa keturunan Tionghoa di era penuh kecurigaan, Tan Joe Hok menyodorkan narasi tandingan. Ia tidak banyak bicara tentang identitasnya. Tapi setiap kali ia mengayunkan raket dan membawa Merah Putih berdiri di podium tertinggi, ia seakan berkata, “Saya Indonesia, dan saya membanggakan bangsa ini.”

Bahkan setelah gantung raket, Tan Joe Hok tak pernah benar-benar pensiun dari bulu tangkis. Ia menjadi pelatih, menjadi pengurus PBSI, menjadi bapak ideologis dari banyak generasi pebulutangkis Indonesia. Ia adalah semacam Yoda di dunia yang dipenuhi Anakin muda. Mereka yang kuat tapi butuh kebijaksanaan lama.

Kita mengenal Liem Swie King dengan loncatannya, Taufik Hidayat dengan dropshot halusnya, hingga Jonatan Christie dengan teriakannya. Tapi fondasi dari semua itu, adalah Tan Joe Hok. Ia seperti pondasi yang sering kita lupakan karena tertutup dinding megah dan atap yang berkilau. Tapi tanpa fondasi itu, rumah akan runtuh.

Lebih dari Sekadar Olahraga

Di masa kini, ketika prestasi olahraga seringkali dibingkai dengan buzzword seperti “sportainment” atau “branding atlet”. Tan Joe Hok adalah pengingat bahwa kemenangan itu sakral. Ia bukan untuk gaya-gayaan, bukan untuk endorsement, tapi untuk menyatukan bangsa.

Tahun 1961, ketika Indonesia menjuarai Piala Thomas untuk pertama kalinya di Jakarta, Tan Joe Hok berada di garis depan. Di tengah sorak-sorai dan bendera berkibar, ia berdiri dengan wajah tenang, nyaris tanpa ekspresi. Tapi semua tahu, itu bukan wajah tanpa rasa. Itu adalah wajah dari seseorang yang tahu, bahwa momen seperti itu hanya datang sekali dalam satu generasi dan ia menjadi saksi sekaligus pelakunya.

Dan ketika ia akhirnya dianugerahi gelar “Legenda PBSI”, Tan Joe Hok menerima dengan rendah hati. Tidak ada pesta megah. Tidak ada hashtag trending. Hanya seorang juara lama yang menatap ke belakang dan tersenyum kecil.

Kepulangan yang Sunyi

Seperti shuttlecock yang perlahan jatuh setelah rally panjang, Tan Joe Hok akhirnya pulang. Tidak dengan sorakan, tapi dengan sunyi yang justru terasa megah. Sebab, hanya mereka yang benar-benar besar yang tahu kapan harus pamit tanpa gaduh.

Kepergiannya mengingatkan kita bahwa olahraga bukan hanya urusan menang-kalah. Ia adalah tentang nilai. Tentang ketekunan. Tentang memperjuangkan sesuatu lebih besar dari diri sendiri. Dan dalam semua itu, Tan Joe Hok sudah lulus dengan sempurna.

Kini, ketika generasi baru sibuk mengincar gelar dan likes, mungkin sesekali perlu menengok ke belakang. Ke tahun-tahun ketika bulu tangkis belum disiarkan langsung, tapi sudah menggetarkan dunia. Ke masa ketika kemenangan tidak diukur dari jumlah followers, tapi dari seberapa dalam kau menggugah bangsa.

Selamat jalan, Pak Tan.

Kami akan merindukan smash-mu. Tapi lebih dari itu, kami akan merindukan keteladananmu.

Dan di setiap lapangan bulu tangkis, di setiap shuttlecock yang memantul pelan di udara, namamu akan tetap hidup. Tidak sebagai legenda, tapi sebagai arah.

Leave a Reply