Idul Adha Tanpa Peluk: Catatan Rindu dari Tangerang

Langit pagi di Tangerang tampak kelabu. Bukan karena mendung, tapi karena aku menatapnya sendirian. Lantunan takbir bersahut dari masjid-masjid kecil di perumahan yang belum sepenuhnya terisi. Suaranya menabrak dinding kamar yang hening, lalu bergema lagi di kepala seperti doa yang kehilangan arah.

Hari ini Idul Adha. Tapi tak ada aroma rendang. Tak ada suara Nazya yang biasanya mengeluh karena baju lebarannya gatal. Tak ada Mahira yang memeluk kaki ibunya karena takut suara bedug. Tak ada wangi parfum istriku yang biasanya berpadu dengan harumnya lontong sayur. Yang ada hanya aku dan sepotong ketupat instan yang kubeli semalam di minimarket.

Idul Adha Terakhir Tanpa Peluk

Tahun ini mungkin Idul Adha terakhir yang kulewati tanpa pelukan. Sebab, 12 Juni nanti, istri dan anak-anakku akan kembali ke orbit hidupku di Tangerang. Rumah tangga kami akan kembali utuh. Tak lagi tercerai-berai seperti potongan puzzle yang tercecer di antara jarak dan waktu.

Sudah lebih dari setahun kami hidup terpisah. Aku bekerja di Tangerang, mereka di Pontianak. Bukan LDR manis ala cerita Instagram, tapi perjuangan nyata di antara tagihan, tenggat, dan biaya hidup yang makin tak masuk akal. Tiap bulan aku kirim uang dan doa. Tapi tak ada transfer yang bisa menggantikan pelukan. Tak ada kiriman yang cukup untuk menambal rindu saat malam panjang terasa kosong tanpa tawa anak-anak.

Tentang Kurban dan Keikhlasan

Awalnya kupikir aku kuat. Kupikir aku bisa jadi suami dan ayah yang tangguh, meski jauh dari mereka. Tapi Idul Adha ini membuka kenyataan: aku rapuh. Kurban sesungguhnya bukan sekadar sapi atau kambing yang disembelih, tapi keikhlasan menunda kebersamaan demi impian yang lebih besar. Dan itu, tidak pernah mudah.

Istriku tak pernah mengeluh. Sesekali ia hanya mengirim foto anak-anak. Nazya sedang mewarnai, Mahira tertidur di lantai. Foto-foto itu kukumpulkan dalam ponsel seperti album yang sunyi. Aku tahu, ia juga lelah. Menjadi ibu sekaligus ayah. Menahan tangis saat anak-anak bertanya kapan bisa kembali ke “rumah kita yang sebenarnya.”

Ibrahim, Hajar, dan Kita di Zaman Kini

Tiap takbir menggema, aku teringat kisah Nabi Ibrahim dan Ismail. Tentang kurban yang tak sekadar darah hewan, tapi soal kepercayaan, ketundukan, dan cinta yang diuji habis-habisan. Mungkin aku dan istriku pun sedang menjalani kisah kami sendiri, seperti Ibrahim dan Hajar versi masa kini, di tengah kejaran tagihan bulanan yang menjerat dan kuota internet yang terus menipis.

Tangerang belum terasa seperti rumah. Tapi itu akan berubah. 12 Juni nanti, hidup kami akan kembali menyatu. Tak lagi menjemput malam sendirian. Tak perlu lagi pura-pura sibuk di hari libur agar tak merasa sepi.

Membayangkan Hari Setelah Mereka Pulang

Aku membayangkan pagi pertama setelah mereka datang. Nazya mungkin langsung bermain dengan tetangga depan. Mahira akan pergi ke minimarket dekat rumah untuk membeli permen. Istriku seperti biasa akan mengeluh soal debu di jendela, lalu menata ulang semuanya dengan caranya yang khas. Rumah kami bukan istana. Tapi ia akan kembali menjadi tempat pulang.

Dan Idul Adha tahun depan, kami akan salat berjamaah di lapangan kompleks. Mahira akan minta digendong karena takut ramai. Nazya akan menghitung jumlah kambing yang disembelih. Istriku akan berdiri di sampingku, matanya sembab, tapi kali ini bukan karena rindu yang dipendam.

Setelah Sepi, Akan Ada Peluk

Hidup, kadang seperti kisah kurban itu sendiri. Ada yang harus dilepas. Ada cinta yang diuji. Tapi seperti takbir yang selalu datang setelah malam yang sunyi, begitulah hidup: setelah sepi, akan selalu ada peluk. Setelah jarak, akan selalu ada rumah.

Idul Adha kali ini, kutujukan bukan untuk siapa-siapa. Tapi untuk kita yang sudah bertahan dalam diam, dan akan pulang dalam cerita yang utuh.

Selamat Idul Adha, untuk semua yang menunggu peluk. Peluk yang tak lagi terhalang pulau, waktu, atau pekerjaan.

Tahun depan, Insya Allah, kita akan bersama.
Aamiin.

Pernah merayakan hari besar sendirian? Bagikan ceritamu di kolom komentar. Siapa tahu, rindu kita bisa saling menguatkan.

Leave a Reply