Pulang dan Pergi: Cerita tentang Dua Kota yang Menarik Hati

Bandara, persinggahan rindu dan waktu yang saling salip. Di tiap tapak langkah, tersimpan janji-janji yang belum sempat ditepati. Usai libur Idul Fitri 2025, saya kembali berdiri di ambang keberangkatan, menyaksikan Pontianak perlahan menjauh dari balik jendela pesawat. Di seberang langit, Jakarta telah menunggu, membawa serta tumpukan tenggat dan ritme hidup yang tak mengenal jeda. Namun, yang paling menggetarkan bukanlah perpisahan dengan kota, melainkan dengan dua bocah kecil yang tumbuh lebih cepat dari kemampuan saya memahami dunia mereka.

Nazya, 8 tahun, kini sudah seperti remaja mini. Rambutnya diikat rapi, matanya tajam, bicaranya mulai penuh logika. “Bapak jangan lupa charge laptop, nanti meeting-nya error lagi,” katanya pagi itu, sambil menyelipkan sepotong kue lapis ke tas saya. Mahira, si bungsu 6 tahun, masih sama isengnya. Tapi sekarang, ia punya senjata baru: kata-kata. “Sabar itu sukses!” ujarnya setiap kali dikejar mandi atau disuruh tidur. Kalimat itu ia curi dari iklan di TV, tapi diucapkan dengan gaya bak filosofi Socrates versi TK.

Mereka berdua, dalam diam, sudah membangun dunianya sendiri. Nazya tak lagi mau diajak pergi. “mager, pak!” protesnya jika saya mencoba. Mahira, yang dulu selalu minta ditemani ke toilet, kini mengunci pintu sambil berteriak: “Jangan masuk! Tunggu diluar!” Saya tertawa, tapi di balik itu, ada sesuatu yang mengendap. Seperti melihat pasir waktu jatuh dari genggaman, butir demi butir.

Libur kemarin, Mahira menjadi director drama keluarga. Saat kakaknya dimarahi ibu karena menumpahkan susu, ia berdiri gagah dengan sendok kayu di tangan. “Ibu, jangan ganggu kakak! Nanti aku pukul!” Ancaman yang lucu, tapi membuat saya terpana. Di usianya yang belum genap tujuh, ia sudah belajar jadi pembela. Sementara Nazya, si sulung, mulai punya rahasia. “Bapak nggak boleh lihat diary-ku!” katanya sambil menyembunyikan buku catatan bergambar unicorn.

Malam terakhir di Pontianak, saya duduk di teras rumah. Langit malam seperti kain yang dihiasi bintang-bintang tak bernama. Dulu, di Jelambar, ibu saya juga sering menatap langit ini. “Kerja jangan sampai lupa pulang,” bisiknya dulu. Kini, saya yang menjadi bapak, justru kerap lupa bahwa “pulang” bukan sekadar kata kerja. Ia adalah janji, ziarah waktu, pengakuan bahwa kita pernah menjadi bagian dari seseorang.

Di bandara, Mahira memeluk erat leher saya. “Bapak harus fast respon kalau aku video call, ya!” Katanya dengan wajah serius, memakai istilah yang didengarnya dari YouTube. Nazya, si kecil yang sok dewasa, malah menyembunyikan air mata di balik kacamata Hello Kitty-nya. “Nanti aku kirim foto rapor, Bapak reaction hati ya!” Pesannya, seolah nilai sekolah adalah tiket untuk mendapat perhatian.

Kembali ke Jakarta, hidup kembali seperti playlist yang diputar ulang: rapat, proyek, kemacetan, dan malam-malam panjang di depan laptop. Tapi kini, ada dua suara kecil yang selalu mengintip di sela rutinitas. Saat lelah, saya buka video pendek dari istri: Mahira menari-nari sambil berteriak “Sabar itu sukses!”, atau Nazya yang pamer origami berbentuk hati. “Ini untuk Bapak, taruh di dompet biar nggak stres!” katanya di rekaman itu.

Mungkin inilah yang disebut dewasa: belajar memeluk jarak, merangkai rindu lewat layar, dan sadar bahwa waktu tak pernah benar-benar milik kita. Nazya dan Mahira akan terus tumbuh, sementara saya hanya bisa mengeja pertumbuhan mereka lewat foto-foto yang dikirim istri. Kadang, saya iri pada angin. Ia bebas bolak-balik Jakarta-Pontianak, tanpa harus menjelaskan mengapa ada pertemuan yang harus ditunda atau video call yang terputus di tengah jalan.

Di penghujung tulisan ini, izinkan saya berpesan: Minal Aidzin Wal Faidzin. Mohon maaf lahir dan batin—pada istri yang jadi supervisor rumah tangga tanpa gaji, pada Nazya dan Mahira yang mungkin lebih sering melihat bapaknya lewat layar, dan pada diri sendiri yang kadung percaya bahwa “nanti” adalah kata yang sah untuk menunda rindu.

Selamat kembali pada rutinitas, para pejuang yang terdampar di antara dua kota. Ingat, waktu bukan musuh. Ia hanya cermin yang mengingatkan, bahwa kita harus berlari lebih cepat dari detik, sebelum bocil-bocil itu benar-benar jadi dewasa, dan kita hanya jadi penonton yang ketinggalan cerita.

Leave a Reply