18.35 – Pancoran: Dingin yang Menyelinap ke Tulang
Jarum jam menancap di angka 18.35. Dingin sisa hujan sore menggerogoti tulang, memaksaku meninggalkan kantor di Pancoran. Di trotoar Jalan MT Haryono, langkahku bersenyawa dengan riuh para gladiator lain: lelaki berkemeja lusuh memanggul tas laptop, ibu-ibu dengan kantong belanjaan yang lebih berat dari bahu mereka, pemuda bersepatu kets yang matanya tak lepas dari layar. Semua berbaris dalam sunyi, mengejar sisa hari yang tertinggal di antara aspal dan langit kelabu.
Halte Busway Pancoran menyambutku dengan deretan tubuh lelah. Bis 9A tujuan Pinang Ranti-Grogol yang mengangkut para pahlawan tanpa jubah, baru saja merapat. Di dalamnya, aroma keringat bercampur harapan. Kursi-kursi telah direbut, tapi tak ada yang benar-benar “duduk”. Mereka terpaku pada layar 6 inci, tertidur dengan kepala terhuyung, atau seperti pria paruh baya di sebelahku: jaket usangnya masih basah oleh hujan nasib, tangannya erat memeluk ember plastik berisi sisa dagangan.
“Alhamdulillah hari ini cukup,” bisiknya pada angin.
Cukup untuk apa? Matanya yang berkaca-kaca menjawab: cukup untuk tagihan listrik yang mengancam, cukup untuk sekaleng susu anak bungsunya, cukup untuk bertahan sampai fajar berikutnya.
19.45 – Petamburan: Transit di Dermaga Para Pejuang
Bau gorengan dari kaki lima menyelinap ke kerongkongan, menggoda perut yang sejak tadi merajuk. Kartu e-money di dompetku, kartu sakti bertuliskan “Museum Nasional”, kembali bersuara: “Terima kasih”. Sebuah ritual: tiga kali tap card dalam sehari, sama seperti tiga kali sehari kami video call.
Bis T11 yang kutumpangi malam ini adalah arena gladiator sejati. Di sini, lelaki bertopi “Laiyo” tidur dalam posisi yoga, kepala bertumpu pada besi pegangan, tangan kanan masih mencengkeram tas alat kerja. Pemuda berambut ikal di depanku bergantung pada tali pegangan, tubuhnya bergoyang mengikuti lengkingan rem bis. Aku sendiri sibuk mencatat di Notes HP:
“Gladiator Romawi kuno bertarung 3-5 kali setahun. Kami bertarung 22 hari sebulan.”
Tol Jakarta-Merak malam ini merah oleh mata mobil-mobil yang terjaga. Di Google Maps, garis ungu sepanjang 18 km menjulur seperti luka. “56 menit,” bohong aplikasi itu. Kami para gladiator tahu: waktu adalah ilusi. Jam 21.00 baru bis sampai di Halte Islamic Tangerang, 30 menit lebih lambat dari janji, tapi 30 menit lebih cepat dari pasrah.
22.17 – Rumah: Colosseum Kecil Bernama Keluarga
Motor tua warisan ayah menderu pelan. Jalanan sepi sudah, tapi di grup WhatsApp RT, percakapan masih bernafas: tagihan air, jadwal ronda, pengumuman kerja bakti. HP bergetar, pesan singkat tertulis dari tetangga depan rumah: “Bang, lampu motornya masih nyala.”
Kubuka pintu. Kosong. Tapi di sudut kamar, kasur compang-camping itu tersenyum. “Kau pulang,” bisiknya. Ritual dimulai: charger HP menyala, kuota internet terkoneksi, wajah-wajah di layar muncul.
“Bapak kuat!” Nazya menyambar kamera.
Mahira menimpali: “Tadi ada cicak jatuh di kamar!”
Istriku hanya tersenyum, matanya berkata: “Lelah ya?”
Di luar, Jakarta tetap bergemuruh. Esok kami akan kembali ke arena, gladiator-gladiator dengan zirah berdasi, sepatu kulit, atau seragam buruh. Tapi untuk malam ini, di antara debar koneksi internet yang tersendat, kami menciptakan Colosseum kecil. Tempat di mana tawa anak-anak adalah sorak penonton, dan pelukan virtual adalah mahkota daun salam.
Epilog: Pulang Hanyalah Interval Antar Ronde
Aku menatap layar HP yang mulai redup. “Besok kita main ya, Pak!” janji Mahira sebelum layar gelap. Jakarta di luar jendela masih berdenyut, seperti gladiator tua yang enggan meletakkan pedang.
Pulang? Di kota ini, pulang hanyalah jeda sejenak. Sebelum fajar menyingsing, kita akan kembali ke medan laga: berebut ojek online di halte, mengejar deadline di kereta yang terlambat, atau sekadar bertahan di antara deru mesin dan rintik hujan.
Tapi selama ada senyum di ujung layar, selama kasur compang-camping masih setia menunggu, selama Jakarta masih menyisakan ruang untuk harapan, kita semua tetap gladiator. Bukan untuk mati di arena, tapi untuk hidup di antara debam kereta dan gemuruh tol.
Bagikan tulisan ini ke sesama gladiator urban!
“Kita mungkin lelah, tapi tak pernah sendiri.” Anonim
Catatan :
Komentar dan cerita pengalaman “gladiator urban” kalian sangat dinantikan! Ceritakan di kolom bawah ini 👇